Sup Ayam Pindah Sini

Sup Ayam Pindah Sini

The blood of the covenant is thicker than water of the womb.

Pasti pernah denger dong ungkapan ini. Katanya, hubungan dengan orang atau temen yang deket banget itu lebih dalam dari hubungan dengan keluarga. Soalnya kalo dengan temen, kita yang milih untuk dekat dengan mereka, sedangkan keluarga kan ndak ada yang bisa milih, kebetulan aja lahir di keluarga itu.

Selain itu, aku juga sering denger ungkapan "Temen udah kayak saudara/keluarga", atau "Keluarga udah kayak temen/sahabat" untuk menjelaskan betapa deketnya mereka dengan keluarga atau dengan temen. Jadi yang bener yang mana nih? Temen atau keluarga? Keluarga atau temen? Lebih deket temen atau deket keluarga?

Manapun yang bener, aku ndak peduli sih. Itu cuman soal gimana mengungkapkan kedekatan. Yang bilang keluarga udah kayak temen, karena bisa cerita apa aja, asik diajak main, berhubungan layaknya temen. Yang bilang temen udah kayak keluarga, karena udah deket banget, sehari-hari bareng, tinggal bareng, apalagi kalo tujuan hidupnya sama. Yaa kayak Sup Ayam. Grup kecil yang terdiri dari 6 cowok, insinyur lulusan Jerman, yang (sok) keren dengan berbagai perangainya.

6 tahun yang lalu, kebetulan kami semua ada di 1 kelompok yang sama, tinggal di rumah yang sama. Berbagi dapur dan kamar mandi. Berbagi beras dan tavuk. Karena dorongan keadaan dan kesamaan nasib menjadi Sobat Misqin inilah yang mengawali terbentuknya Sup Ayam. Kenapa dinamain Sup Ayam? Karena 6 orang ini suka sup ayam, dan sup ayam juga jadi masakan pertama kami di Jerman. Kadang juga herna sih kenapa dinamainnya Sup Ayam, padahal kan banyak nama-nama lainnya yang lebih keren. Salahin si Ravin tuh, dia yang kasih nama.

Selama 6 tahun ini juga, kami melalui proses pendewasaan bersama. Belajar kerja, manajemen uang, bayar pajak, urus surat-surat dan dokumen resmi, menghadapi birokrasi. Galau bareng, patah hati bareng, suka sama orang yang sama, menghadapi betapa bucinnya cowok-cowok ini. Sup Ayam kalo soal bucin nomer 1 lah pokoknya, ndak ada yang bisa ngalahin. Disuruh nunggu 6 tahun, 7 tahun, mau-mau aja padahal yaa mbuh ndak jelas nantinya gimana. Suka sama orang sampek bego, tetep bego sampek orangnya ilang. Lagian kalo nunggu 6 tahun, udah bisa dikasih ijazah SD itu hatinya.

Hubungan di Sup Ayam udah kayak di keluarga, ada mamanya, ada kakak, ada adek. Mamanya? Yaa si Bagas dong yaa yang hobinya beberes dan nggupuhi orang lain buat beberes. Anak pertama si Ravin, karena dia paling bisa handle Mamah. Aku jadi anak kedua, karena anak kedua hadir untuk membereskan "sampahan" dari Mamah dan Anak Pertama. Anak ketiga ada Dayen, yang jadi outcast karena udah nikah duluan asem tenan. Lalu ada Goci yang jadi anak tiri keempat, jamnya dari karet kualitas terbaik. Dan yang terakhir ada Guntur, yaa karena dia paling muda di antara kami semua (tapi paling pinter).

Orang-orang ini, ketika dipisah dan berjalan sendiri, keliatan banget kalo mereka orang yang kompeten, bisa diandalkan, rajin, bijak, dan multi-talented. Di ranah mereka masing-masing selalu jadi ujung tombak dan diharapkan orang banyak. Sayangnya, ketika dijadiin 1, semua itu sirna. Hal-hal positif, kualitas-kualitas diri langsung luntur seketika. Kalo dikumpulin udah kayak comedy troupe yang cuman punya 2 helai sel otak. Itupun dibagi berenam. Sukanya bikin lelucon dan guyon, tapi ketawanya gara-gara liat audiensnya ndak ada yang paham guyonan mereka. Kata-kata yang keluar tuh ndak ada yang mengindikasikan bahwa mereka orang bijak dan terpelajar. Ndak jarang juga para ciwi-ciwi bilang Sup Ayam itu sekumpulan laki-laki tak berguna dan tak jelas hidupnya. Kasian pasangan kami nanti, kata mereka. Yaa makanya cari pasangan yang bisa cocok sama Sup Ayam dong!

Setelah kruntelan bareng di Bahnhofstr. Giessen selama 2 tahun, tahun 2016 akhirnya Sup Ayam dipisahkan. Berjuang di universitas masing-masing, mengejar mimpi. Tapi, seperti keluarga pada umumnya, kami juga ada mudik. Mudiknya udah jelas ke Giessen lah, ke tempat Mamah berada. Tiap libur Natal, Sup Ayam dan ciwi-ciwi kumpul di rumah Mamah, kruntelan sepanjang liburan sambil bertingkah ndak jelas. Isinya cuman nonton film, makan, tidur. Tidurnya yaa kayak biasanya, berjejer kayak ikan asin lagi dijemur. Untungnya, karena aku jadi tamu, selalu disediakan makan dan ndak pernah disuruh masak lagi. Dulu, waktu masih di Bahnhofstr., aku selalu yang di dapur, sedangkan mereka guling-gulingan di ruang tengah sambil main monopoli. Eh, ndak juga deng. Terakhir kemaren, aku baru nyampek rumah langsung disuruh bikin pizza. Ndak bisa lepas dari pekerjaan dapur emang yaa.

Selain ke Giessen buat mudik, ndak jarang juga ke Giessen untuk melarikan diri. Nyari ketenangan dan tempat untuk bersandar sebentar. Nyari temen cerita. Ada juga sih yang ke Giessen buat mbucin dan berbaper ria, tapi jangan di-judge lah. Mungkin emang butuhnya kayak gitu. Kadang juga ke Giessen karena harus mendengarkan betapa bucinnya seseorang di antara kami. Entah siapa.

Yang aku suka heran, kenapa Sup Ayam ini ndak pernah memanfaatkan teknologi untuk menjaga komunikasi. Ada sih, grup di Whatsapp, yang baru dibikin Februari kemaren. Itupun gara-gara grup Line udah ndak bisa dipake karena ada beberapa yang udah ndak pake Line. Dan grup selalu sepi dong, rame terakhir karena ada yang nyebar undangan. Udah gitu nama grupnya ganti jadi "Sup Ayam Pindah Sini", agara-gara, well, grup Sup Ayam pindah ke sini. Video call barengan juga baru Februari kemaren selama 6 tahun ini. Tapi ada sisi baiknya juga sih, saling bercerita tiap ketemu aja. Halah, tapi lho tiap ketemu juga jarang cerita. Isinya cuman guyon, ketawa, bahas hal-hal yang terlalu random buat orang biasa.

Nanti, kalo aku punya anak, bakal tak ceritain tentang Sup Ayam. Tak kenalin sama semua anak-anaknya mereka, biar mereka berteman juga seperti ayah-ayahnya. Tapi jangan deket-deket sama anaknya om Goci lho!

The blood of the covenant is thicker than water of the womb?

The broth of the soup is thicker than blood of any kind.