Sini To, Tak Ceritain
Hai, kamu. Sini, sini. Tak ceritain sesuatu. Siapin jajanan sama minum dulu tapi.
Udah? Siap? Oke, aku mulai yaa.
Pada suatu hari yang (ndak terlalu) indah di masa yang lampau, aku ketemu seseorang. Dari pertama ketemu dan bertatap mata, kayak ada sesuatu yang 'klik' antara kami berdua. Pada detik itu juga, aku mikir, "If I have to choose one to spend the rest of my day with, I'd gladly choose her. Absolutely no brainer". Tentu saja aku ndak langsung bilang gitu dong ke dia. Edan po. Iyaa, aku tu emang masuk anginan, tapi juga udah belajar dari kesalahan masa lalu. Udah ndak grusah-grusuh lagi. Tenan.
Dia itu sempurna. Saking sempurnanya sampek bikin aku ndak masuk anginan lagi. Suka sama dia itu worth it banget lah. Tick all the boxes, a full package. Rasa-rasanya pengen Bumi ini jadi milikku dan dia berdua aja, yang lainnya tak paksa ngontrak dan bayar Kaution 3x Miete. Aku bakal berbagi banyak hal sama dia, dari cerita, kenangan, hobi, kegiatan, segalanya. Pokokmen kalo aku sama dia, Cyberpunk 2077 jadi ndak ada bug sama sekali. Dunia bakal jadi indah, menyenangkan, dan lebih berwarna.
Untuk merealisasikan apa yang tak pengen, tinggal leap of faith aja. Berani ngomong ndak.
Yaa berani dong. I took the risk.
Senengnya ndak kira-kira setelah ngomong dan ndak bertepuk sebelah tangan. Apa yang tak bayangkan dan tak pengeni jadi kenyataan! Hore!
Tapi bahagianya cuman bentar doang.
Ternyata aku tetep ndak bisa berbagi minat dan kehidupan sama dia. Berusaha nyamain selera musik, gagal. Berusaha berbagi hobi juga gagal total, yang ada malah adu jotos. Aku udah mandi, udah siap, dianya masih ngorok. Aku lagi gegoleran, dianya berisik ndak karuan. Aku bangun kepagian, dia bangunnya pas matahari terbit. Tapi terbitnya jam 1 siang. Udah gitu orangnya nganyelke tenan yaa Allah aku hanya bisa ngeroki dada karena ngelus dada udah ndak ngaruh. Ndak seindah apa yang tak bayangin lah pokoknya. Dalam sekejap, cerita kami berdua berakhir.
Tamat.
Bukan, ini bukan ceritaku sama mbak mantan, bukan juga ceritaku sama Mbaknya. Ini ceritaku sama kamera analog yang tak impi-impikan dari dulu, Yashica Electro 35. Kamera keluaran tahun 60an ini jadi kamera impianku dari lama banget. Rangefinder, aperture priority, cantik, lensa keren. Kurang apa coba. Dalam kepalaku, Yashica Electro 35 bakal jadi penutup koleksi kameraku, dan mungkin rangefinder yang lain bakal tak jual. Bahkan, aku sempet kepikiran buat jual semua kamera dari SLR sampek TLR dan nyimpen Yashica Electro 35 doang. Edan.
Karena memang dipersiapkan jadi kamera terakhir, aku ndak beli Yashica Electro 35 sama sekali. Mau nyoba yang lain dulu sebelum The One menggantikan mereka semua. Suatu hari iseng buka eBay dan nyari Yashica, ada dong yang murah dan dalam kondisi yang masih bagus banget, udah CLA pula. Ndak pake pikir panjang langsung tak bayar. Hari itu, aku loncat-loncat dan senyum terus seharian. Belasan tahun lho aku pengen kamera ini, akhirnya kebeli juga.
Beberapa hari kemudian, Yashica Electro 35 sampek di rumah dengan selamat, lengkap sama leather cover dan beberapa aksesorisnya. Bahagianya ndak ada yang ngalahin pokoknya. Kayaknya kalo ada yang liat aku hari itu, mesti ngira aku udah gila. Emang gila. Dan bucin. Tapi pas tak buka dan tak coba, bahagianya langsung luntur kayak kena Clorox. Hilang. Oh, mungkin karena ini belom tak kasih aksesoris yaa, pikirku. Tak pasang soft release button sama Peak Design Anchor. Ternyata juga ndak merubah apa-apa. Oh, mungkin harus dicoba pake film dulu kali yaa. Akhirnya tak masukin 1 roll Kodak Ultramax 400. Pas dibawa foto ke luar juga ndak menyenangkan banget. Rasanya semuanya salah dan ndak pada tempatnya. Ndak ada bahagianya sama sekali. Ndak cantik, ndak keren, ndak simpel, ndak suka aperture priority-nya, ndak suka modelnya, ndak suka shutter button-nya, ndak suka finder-nya, ndak suka semuanya.
Yaudah, roll ndak tak selesein, kameranya langsung tak masukin lemari. Bye. Emoh lagi aku pake Yashica Electro 35. Kecewa berat lah pokoknya.
Tapi semesta itu adil. Di saat yang hampir bersamaan, aku tiba-tiba dikasih Rollei 35 T. Kamera ini kamera yang ndak pernah tak gagas sama sekali. Pokoknya aku ndak peduli walaupun udah tau dari lama banget. Ndak pengen tau, ndak pengen kenal, ndak pengen beli. Tau-tau punya. Ceritanya juga ndak disangka-sangka banget lah pokoknya, ndak seharusnya itu terjadi tapi it happened anyway.
Tapi ternyata Rollei 35 T ini salah satu kamera terasik yang pernah tak pake. Saking kecilnya jadi gampang dikantongin dan dibawa ke mana-mana, zone focusing juga ndak sesusah yang tak bayangin. Light meter mati atau baut yang ilang 1 juga ndak jadi masalah. Kalo dipikir, kamera ini banyak keterbatasan dan ketidak-sempurnaannya, tapi jadi kamera analog yang paling sering tak bawa ke mana-mana. Ini jadi kamera yang ndak bakal tak jual.
Hidup di dunia ini juga gitu. Kadang kita ketemu sama orang yang kayaknya sempurna banget, yang nyenengke dan sebagainya. Tapi ternyata kita cuman suka sama apa yang kita bayangin tentang orang itu, we love the idea of that person rather than the actual person. Lalu jadi bucin dan kebayang-bayang terus. Padahal ada orang yang udah dari lama ada di deket kita, tapi kita ndak nggagas dan ndak mau tau. Ndak minat, mungkin, karena kita tau jeleknya dan kekurangannya.
Tapi dari Rollei 35 T dan keterbatasan dan ketidak-sempurnaannya, aku belajar kalo mengakui dan menerima keterbatasan masing-masing itu kuncinya. Harus nerima emang, karena di dunia ini ndak ada yang sempurna. The only perfection that exists is the perfect acceptance of an imperfect person.
Yaa gitu aja ceritaku hari ini. Kalo ada kesamaan kejadian ataupun nama, ndak usah kepedean! Mbok pikir semesta berputar mengelilingimu po? Lagian udah tak bilang, yang Yashica Electro 35 di awal bukan ceritaku sama siapa-siapa, tapi yang Rollei 35 T bisa jadi ceritaku sama Mbaknya (HEH!).
Hai, Mbaknya.
Ternyata jatuh cinta itu mudah, tapi tetap cinta yang susah.
TTD, orang yang keseringan masuk angin.
PS: Semua foto di sini tentu saja dari Rollei 35 T, bukan dari Yashica Electro 35.