Pulau Kelapa

Pulau Kelapa

Libur musim panas telah tiba!

Hayo hayo pada mau ke mana? Aku sendiri udah merencanakan pergi ke mana-mana, ke Trier, ke Luxembourg, ke Würzburg, ke Mannheim, ke Brussel, ke Strasbourg. Wah, pokoknya plesiran secapeknya, deh!

More often than not, reality differs from expectation.

Karena satu hal dan yang lain (punggung tua), aku batal jalan-jalan yang jauh. Paling jauh, yaa, Mannheim. Nyaris ke Würzburg juga, tapi malah sakit. Udah tua soalnya, salah posisi tidur langsung sempal punggungnya. Apalagi kalo disuruh pergi-pergi kayak dulu, sepertinya badan ini tak sanggup lagi. Kata-kata "biarlah badan ini membayarnya" udah ndak bisa dipake lagi, udah mulai ditagih pembayarannya.

Not gonna lie, I feel bad. Ada yang udah siap dress up malah jadi di rumah doang kepanasan megap-megap, pupus harap melanglang buana layaknya alap-alap.

Daripada ndak ngapa-ngapain, akhirnya diputuskan untuk muter-muter Frankfurt, cari taman yang enak buat duduk-duduk dan ngobrol, sekalian makan-makan 17 Agustusan. Setelah lama berdebat soal taman mana yang menarik untuk dikunjungi, kami akhirnya memutuskan pergi ke Grüneburgpark, 5 menit naik U-Bahn dari Hauptwache.

Turun di halte Westend, kami jalan kaki lewat Siesmayerstrasse. Sepanjang perjalanan, kanan-kiri liat mobil keren-keren, hawa-hawanya lagi di daerah orang kaya. Bangunan rumahnya juga terlihat lebih kaya daripada apa yang biasa diliat di depan rumah. Peasant.

Menjelang sampai ke tujuan, terlihat bangunan dengan kubah kaca di seberang jalan. Pantulan terik matahari Frankfurt dari panel kaca di kubah ndak kaleng-kaleng silaunya, rasanya bikin tambah panas. Aku yang masih merem-melek karena silau, tiba-tiba denger dia nyeletuk,

"What is that?"

"Palmengarten, taman gitu, isinya banyak bunga-bunga dan tanaman dari berbagai iklim."

"Looks interesting, sounds interesting. Mau ke sana aja, ga?"

Tunggu bentar.

Mundur dikit ke belakang.

Waktu nyari-nyari taman buat jalan-jalan tadi, aku nawarin berbagai macam taman yang ada di Frankfurt, termasuk Palmengarten. Waktu aku nawarin Palmengarten, dia bilang not in the mood for botanical garden. Not in the mood. Sigh.

Oke, to be fair, kalo soal menjual tempat atau atraksi yang bisa dikunjungi, I'm not the right person. Seringnya, apa yang aku tawarkan malah terdengar kurang keren dan bikin bosen, termasuk si Palmengarten ini.

Anyway.

Palmengarten, yang arti literalnya kebun palem, adalah salah satu kebon botani yang bisa dikunjungi di Frankfurt. Isinya berbagai macam bunga dan tanaman dari berbagai belahan dunia. Seperti namanya, tentu saja ada koleksi palemnya, ada koleksi tumbuhan karnivora kayak kantung semar, ada kebun mawar dan dahlia, dan Schmetterlingshaus atau rumah kupu-kupu. Sayangnya, kami ke sana di waktu yang kurang tepat, karena kupu-kupunya banyak di bulan Oktober.

Di antara koleksinya, menurutku yang paling keren Tropicarium, rumah kaca gede dengan berbagai macam biotop. Dari sabana, hutan hujan, dan gurun, ada semuanya. Dari pohon salak sampek berbagai kaktus mereka punya semuanya. Ndak cuman tanaman, tapi juga hewan yang biasa ada di biotop tersebut. Ada ikan nila di hutan mangrovenya!

Sepanjang muter-muter di Palmengarten, banyak sekali "wow" and "uwa" yang terdengar, entah dari aku atau dari dia. Banyak terpana liat tanaman-tanaman yang indahnya luar biasa.

Saat masih sama-sama terpana, dia nyeletuk sambil pegang-pegang daun Calathea,

"Tanaman-tanaman kayak gini emang ada di Indonesia?"

"Banyak, kok. Beberapa jadi tanaman hias dalam pot, beberapa lainnya jadi pelengkap semak-semak."

"I've never paid attention to that. Daun-daunan secantik ini, yang di sini masuk ke tempat wisata segede ini, di Indonesia cuman jadi tanaman pot." lanjutnya sambil pegang-pegang Janda Bolong.

Masih sambil pegang-pegang dedaunan yang lain, dia ngomong lagi,

"It's funny how, back in Indonesia, I never paid attention to any of these plants. Now that I'm here, away from what we have in Indonesia, I'm fascinated by each and every one of them."

Hmmm.

Menarik.

Ada benernya juga, ketika jauh baru sadar akan hal-hal yang ditinggalkan. Baru terbuka matanya akan banyak hal yang dulu dianggap biasa aja ternyata jadi hal yang dicinta selamanya.

Mungkin ini juga yang dirasakan oleh banyak diaspora Indonesia, termasuk kami. Belasan tahun tinggal di negeri orang, belasan tahun ndak bersinggungan dengan apa yang dulu dinikmati ataupun ndak dinikmati di Indonesia. Liat ayam goreng bumbu kuning langsung ngiler. Yang tadinya di Indonesia ndak makan lele, malah jadi doyan banget. Belom lagi kalo ngomongin soal jajanan dan minuman yang biasa di warung-warung, tiba-tiba jadi fans berat.

Selain mulut yang merasa rasa-rasa tersebut, hatipun juga ikut mencicipi. Rasa nasionalisme, utamanya. Banyak aku lihat orang yang sudah bertahun-tahun dan beranak-pinak di sini, enggan mengganti gambar Garuda Pancasila di sampul paspornya jadi gambar yang lain. Yang lain kurang gagah, agaknya.

Gambar Garuda Pancasila yang sama, yang tak mau ditukar oleh para diaspora Indonesia, muncul dalam unggahan sosial media akhir-akhir ini. Tidak dengan latar bendera Merah Putih, tidak pula dengan latar hijau paspor –atau merah dalam waktu dekat ini– tapi biru. Pertanda darurat. Demokrasi di ujung tanduk, tepat di bulan perayaan 79 tahun merdekanya bangsa ini.

Kukira Ibu Pertiwi sedang bersusah hati saat ini, terkenang akan emas dan intannya. Iapun sedang lara, merintih dan berdoa. Untuk Indonesia. Untuk nusa dan bangsa.

Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Tapi, seperti yang dia bilang, Indonesia akan kembali baik-baik saja. Terjaga dari orang-orang yang jahil terhadap kemerdekaannya.

يا للوطن، يا للوطن، يا للوطن
حب الوطن منالإيمان
ولاتكن من الحرمان
انهضوا أهل الوطن

Pusaka hati wahai tanah airku
Cintaku dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah hai Bangsaku!

اندونيسيا بلادى
أنت عنوان الفخاما
كل من يأتيك يوما
طامحا يلق حماما

Indonesia Negeriku
Engkau panji martabatku
Siapa datang mengancammu
Kan binasa di bawah durimu.

All photos of flowers and animals are taken by her.