Never Meet Your Idol

Never Meet Your Idol

Beberapa waktu yang lalu, Cristiano Ronaldo balik lagi ke MU. Setelah 13 tahun menang macem-macem di segala tempat, anak emasnya Sir Alex Ferguson pulang ke rumahnya lagi. Layaknya seorang bintang besar, proses dan kisah kepulangannya ke Manchester United penuh dengan drama. Sekitar seminggu sebelum jendela transfer ditutup, muncul rumor kalo Ronaldo bakal pindah ke City, setelah dia "bosan" di Turin. Makin mendekati deadline, rumornya makin kenceng. Kabarnya, proses transfer ke tetangga sebelah udah mau selesai, tinggal finishing aja. Di saat itu, kebanyakan fans MU udah pasrah, udah ngeluarin berbagai macam alasan, dan tentunya, udah pada bakar jersey CR7. Hanya selang sehari-dua hari, kabar mengejutkan datang dari Carrington. CR7 is coming home! Ini beneran out of nowhere sih, tau-tau semua jurnalis kredibel nulis kalo CR7 bakal balik ke Carrington. Internet meledak.

Beberapa minggu sebelumnya, Valentino Rossi, legenda hidup ajang MotoGP, ngumumin kalo ini bakalan jadi musim terakhir dia di MotoGP. Rossi, yang udah menang ndak tau berapa kali, udah jadi ikon MotoGP seenggaknya dua dekade terakhir. Pokoknya MotoGP = Rossi. Setelah sukses di Honda, Rossi pindah ke Yamaha, sukses besar di sana, lalu pindah ke Ducati. Di Ducati, sayangnya Rossi ndak terlalu bersinar. Ndak lama, dia balik lagi ke Yamaha, dan hampir jadi juara lagi. Setelah itu, aku ndak terlalu ngikutin lagi, dan kayaknya dia stabil di papan tengah setelah pindah ke tim satelitnya Yamaha. Mungkin karena udah bosen dan mau ngurus timnya sendiri, makane dia pensiun kali yaa. Mulai tahun depan, ndak ada lagi nama The Doctor di grid MotoGP.

Oh, tambah satu lagi deh. Beberapa minggu yang lalu, film dokumenternya Michael Schumacher rilis di Netflix dengan judul Schumacher. Film dokumenter berdurasi hampir dua jam ini bercerita gimana seorang Schumi bisa jadi seorang Schumi, juara dunia berkali-kali, pemegang rekor menang terbanyak,y ang akhirnya disalip sama Hamilton beberapa waktu yang lalu, fastest lap terbanyak, trus mbuh paling ter- apalagi. Pokoke kalo inget Ferrari, inget Schumi. Inget F1 inget Schumi. Di dokumenter yang sama, dikasih tau gimana sih wataknya seorang Schumi, gimana kerja kerasnya, gimana "drama"-nya, gimana dia ndak mau kalah, dan lainnya. Gimana dia bawa Ferrari, yang udah ndak pernah juara selama beberapa dekade, balik ke atas lagi dan juara berkali-kali. Schumi, buat tifosi dan buat semua orang yang terhubung sama Ferrari, mungkin udah dianggap dewa kali yaa. Yang sedih adalah ketika keluarganya Schumi cerita tentang kondisinya sekarang. Seperti yang kita semua tau, Schumi kecelakaan parah beberapa tahun yang lalu. Keluarganya selama bertahun-tahun bungkam soal kondisi dia sekarang, dan baru buka suara di dokumenter ini. Aku mbrambangi, tentu saja. "Alle vermissen Michael, aber Michael ist hier. Anders, aber er ist da, und das gibt uns Kraft.“ kalo kata Corina, istrinya.

Rossi dan Schumi adalah pahlawanku di dunia balapan. Masa kecilku, masa masih rajin nonton MotoGP dan F1, aku cuman pengen nonton mereka berdua, yang diliat pokoknya posisi mereka doang. Dan sampek sekarang, cuman 2 orang ini doang yang aku bela-belain beli merch-nya. Dari baju, miniatur, buku, topi, segala macem lah. Kalo Ferrari jelas warna merahnya dan semua merch-nya warna merah, ayng Rossi aku punya cukup banyak merch dari masa Gauloises Yamaha. Kalo Ronaldo, aku sih ndak pernah ngefans dia yaa. Aku mah ngefans van der Sar sama Scholes. Tapi Ronaldo jadi lambang masa jayanya MU di pertengahan sampai akhir 2000an, dan satu-satunya yang masih main di top flight. Yang lainnya lho udah pensiun atau jadi pelatih. Monster.

Sepanjang hidup, pasti kita semua punya idola dong. Dari waktu kecil mengidolakan Ultraman, Power Ranger, Goku. Atau ngefans sama band/penyanyi kayak Linkin Park, Arcade Fire, BTS, atau Queen. Atau malah sama sport personality kayak Michael Jordan, Cristiano Ronaldo, LeBron James, dan Lewis Hamilton. Siapapun idolanya, semua biasanya berawal dari sekeren apa mereka di ranah mereka masing-masing, lalu seberapa relatable si idola ini di kehidupan masing-masing atau mungkin mewakili suatu fase dalam hidup mereka. Yang suka Linkin Park dan lagunya, mungkin merasa relatable dengan tema yang mereka bawa dan kebetulan bisa mengangkat mereka dari keadaan terpuruk. Yang suka Cristiano, mungkin suka liat kerja keras sama dedikasinya. Yang suka Power Ranger, mungkin suka gimana mereka ndak menyerah walaupun musuhnya jadi gede. There will always be a Megazord to save your day. Oh, don't forget the special colored rangers that used to the antagonist.

Tapi, namanya juga manusia, idola kita pasti punya satu-dua kekurangan. Seringnya, kekurangan ini berhubungan sama watak mereka di luar "lapangan". Ndak jarang, ketika fans ketemu sama idolanya, ternyata mereka jauh dari apa yang dibayangkan, dari apa yang ditampilkan di layar. Mungkin ndak ramah, mungkin ndak nggagas, mungkin sombong, atau bisa juga straight up asshole and racist. Sampek ada frase "never meet your idol" itu yaa gara-gara banyak banget kejadian kayak gini. Termasuk aku. Ketemu idola tapi ternyata bosok sakpole.

Jadi, berbulan-bulan, atau mungkin beberapa tahun yang lalu, aku ketemu seseorang. Dia ini idolaku, udah lama pengen ketemu tapi belom pernah ada kesempatan. Ada aja yang bikin ndak jadi ketemu, entah itu karena waktu yang ndak pas atau faktor-faktor lain yang ndak memungkinkan. Padahal deket, padahal ndak jauh-jauh banget. Selama bertahun-tahun, aku cuman denger tentang dia dari testimoni orang-orang terdekat, termasuk temen-temen. Katanya dia gini lah, katanya dia gitu lah, katanya macem-macem lah. Yaa mereka juga ngefans sih, dan beberapa kali ketemu. Tapi, kalo ndak ketemu langsung tuh rasanya kurang pas aja, masih banyak penasarannya.

Lalu, di suatu hari yang ndak terduga dan ndak direncanakan, aku ketemu sama dia. First impression sih, nyenengke banget yaa. Asik, ramah, cantik, baik. Udah gitu rasa penasaranku seakan terobati. Oh, ternyata emang gini yaa orangnya. Ternyata emang bener-bener tipe orang yang high performance, orang yang bisa fokus, bisa kerja cepet, dan cukup reliable. Udah gitu, dia juga luar biasa tangguh, luar biasa kuatnya, hasil tempaan berbagai macam cobaan hidup yang dialaminya selama bertahun-tahun, dan terus masih sampai sekarang. Di balik ketangguhannya, kalo tak liat-liat, dia tuh sakjane agak rapuh juga. tapi semua tertutupi oleh performa dia dalam kehidupan sehari-hari. Setelah pertemuan pertama ini, dia dan aku ketemu lagi beberapa kali, untuk sekedar ngobrol, pergi keliling-keliling, atau makan.

Seiring berjalannya waktu, komunikasi antara aku sama dia makin intens. Jadi sering lupa sama yang "lain". Kedekatan antara dia sama aku ini dipertanyakan sama temen-temenku. Kok bisa? Kok mau? Hati-hati lho. Keluar sebelum nyesel. Dan masih banyak peringatan lainnya yang ndak tak gagas karena berisik. Aku mau menilai dia dengan mata kepalaku sendiri. Lagian lho, mosok gitu banget sih. Menurutku dia baik, cantik juga, trus ramah, suka nolong orang, sayang dan patuh ke orang tuanya juga. Kurang apa coba? Tambah ngefans ndak sih jadinya.

Never meet your idol. Never meet your idol. Never meet your idol. Jangan pernah pokokmen. Setelah beberapa waktu berlalu, mulai muncul aneh-anehnya. Mulai ndak enak. Mulai kacau. Apa yang dibilang sama temenku bener semua. Aku mulai menimbang-nimbang pilihan, ini mau dibawa ke mana. Mungkin dia juga mulai menimbang, enaknya ngapain. Ndak lama, ada satu kejadian yang menurutku udah melewati batas toleransiku. Bukan, bukan yang kayak gitu. Nek itu mah aku bodo amat yaa, kan kondisional. Kalo aku jadi dia, atau di posisi dia, mungkin aku juga bakal ngelakuin itu kok. Sayangnya, aku bukan dia, dan ndak akan pernah jadi dia. Masalah yang ini kayaknya ndak patut untuk diceritakan deh yaa. Pada akhirnya kami memilih jalan yang berbeda. Mulai hari itu I don't want anything to do with her anymore. Titik.

Begitulah ceritaku sama Sony a7R series, kamera yang jadi idolaku sejak lama. Emang high performance banget, bisa diandalkan di segala situasi, kualitas hasilnya juga bagus, fiturnya banyak pol, dan fokusnya luar biasa cepet. Sayangnya, ndak cocok aja sama aku. Ndak enak aja dipake, ndak dapet feel-nya sama sekali. Akhirnya, setelah nyoba sekian lama, aku harus berpisah dengan kamera ini dan belajar dari kesalahan. Ndak mau lagi pake yang kayak gini, udah cukup sekali aja. Fujifilm masih sangat oke buat kebutuhan dan gayaku sekarang. Pake Sony kayak pake robot, ndak ada hatinya sama sekali.

Sayangnya, kalo ketemu idola beneran dan ternyata dia asshole, ndak bisa segampang memindah-tangankan kamera. Mesti terpatri dalam pikiran kalo dia tuh orangnya ndak banget, ndak sesuai sama omongannya atau ndak sesuai sama yang ditampilkan di layar. Coba kalo bisa dilempar bebas kayak kamera, kan enak. Ndak usah tergoblokkan segala. Yaa ndak, Jo?

Hai kamu, iya kamu. Emoh aku pokokmen, mau disuruhnya kayak gimana pun. Sekali wae beli a7R, udah cukup. Ndak lagi. Bye.