Love All, Play
Belum lama ini, BWF World Tour Finals digelar di Bangkok dan disiarkan langsung lewat YouTube BWF TV. Sebagai Sobat Ea-ea, tentu saja aku nonton, dong. Liat Jorji berjuang keras lawan top WS macam Gooch, CYF, dan ASY, Rivaldy/Mentari yang hampir rubber set lawan Zheng/Huang, Jojo comeback Game 2 lawan LKY, Papa Vega Terminator T-600 yang masih ndak tersentuh, dan ndak lupa, The Daddies yang masuk final mulu. Walaupun nontonnya kepotong-potong karena harus berangkat latihan badminton, pertandingan yang sempet tak tonton seru-seru, sih, bikin sesuatu dalam diriku bergejolak. Hiyek.
Selain nonton, tahun ini aku juga lumayan sering main badminton. Yaa ndak sering-sering banget, sih, paling seminggu 4 kali. Hehe. Awalnya cuman tepok-tepokan doang karena ada temenku yang bawa raket waktu sesi voli, tapi ternyata ada sesuatu yang bergejolak dalam diri. Familiar. Nyaman. Dekat. Cinta lama bersemi kembali, ternyata.
Cie cie cie
Banyak yang ndak tau kalo aku memulai perjalanan sebagai student athlete di cabang badminton. Jauh sebelum jatuh bangun dan loncat-loncat di lapangan bola, aku udah jatuh bangun dan loncat-loncat di badminton court. And I WAS quite good at it. Sayangnya, pada suatu hari, aku mikir badminton, tuh, kurang hits. Jadinya aku memutuskan untuk nyebrang ke cabor sebelah, biar hits dan barangkali bisa lebih gampang dapet pacar gitu. Pada kenyataannya, yaa, ndak juga, sih. Tapi udah ndak bisa keluar lagi, lha wong udah terlanjur melangkah jauh.
12 tahun kemudian, di tahun 2022, kok yaa jadi main badminton lagi. Beli raket lagi. Beli sepatu lagi. Latihan footwork lagi karena ini dasar banget di badminton. Latihan clear, lift, drop, dan lainnya juga. Ibaratnya, harus belajar jalan lagi. Apalagi badminton, tuh, an extremely technical sport. Teknik salah dikit, shuttlecock-nya ndak ke mana-mana dan bisa bikin cedera. Emang lebih baik jalan dulu sebelum bisa lari.
Belajar jalan lagi juga jadi tema besar buatku tahun ini. Setelah sakit lama dan sempet dirawat juga, kondisi fisikku lumayan ndak karuan. Masih sempet cedera pula. Klinik fisioterapis udah jadi kayak rumah kedua. Bahkan, aku lebih sering ke klinik daripada ke institut. Nahloh.
Dari klinik ini juga aku disarankan buat bener-bener jalan dulu, ndak boleh lari. Dari jalan biasa, trus sampek pace 10 min/km. Habis itu boleh lari, tapi pace 8 min/km dan maksimal 2 km. Aku baru boleh lari 5 km, tuh, bulan Juli kemaren, itupun masih di 7,5 min/km dan harus berhenti kalo ndak nyaman. Selain itu, banyak latihan-latihan lainnya yang harus dikerjain biar tanganku bisa gerak lagi.
Perjalanan dari nol ini juga banyak terjadi di berbagai aspek kehidupanku. I had to take a step back from a lot of things, things that have been my target for a while, things I wanted, things that have been a part of my life so far. Tapi memang harus dilakukan, biar bisa liat dunia dengan perspektif yang baru dan bisa memulai segalanya dari awal lagi.
Kosong-kosong. Atau kalau di badminton, love all.
Maka, dari sekarang, aku mau perlahan memulai segalanya lagi, dimulai dari prioritas utama dan with my own pace and the right footwork. Barangkali, dengan seperti ini, bisa mengurangi risiko bola-bola tanggung dan mengurangi risiko cidera dalam pengambilan keputusan.
Love all, play.
Edit: Salah nulis pace. Harusnya min/km, malah km/h. Nulisnya sambil ngalamun, sih.