Kulkas Isi Film

Kulkas Isi Film

Katanya, cinta itu ndak bisa dipaksakan. Katanya, kita ndak bisa milih jatuh cinta sama siapa. Katanya, cinta itu datang tanpa salam dan tanpa permisi. Tiba-tiba saja dia datang, lalu, tiba-tiba saja, aku bahagia. Sesimpel dan sesingkat itu. Ndak tau kapan mulainya, tiba-tiba rasanya berbunga-bunga. Itu yang tak rasain ketika ketemu dia, ketemu Fujifilm X-T10.

Lebay? Ndak sih. Emang itu yang tak rasain kok. Waktu Fujifilm X-T10 keluar, duh langsung deg-deg ser hati ini rasanya. Kok ada yaa kamera secantik itu. Waktu megang pertama kali, langsung flashback ke pertama kalinya aku megang kamera SLR bertahun yang lalu. Ada dorongan buat foto, dorongan buat nenteng kamera ke mana-mana. Kalian yang suka foto pasti ngerti deh rasanya. Menurutku, ndak ada kata yang bisa menjelaskan hal ini selain jatuh cinta.

IMG410.jpg

Banyak yang ngira aku baru suka kamera, suka foto, setelah di Jerman. Yaa wajar sih, baru kali ini juga aku pajang foto di mana-mana dan keliatan bawa kamera ke mana-mana. Padahal, kisahku dan dunia fotografi sendiri sudah berlangsung sejak sekitar 20an tahun yang lalu, dimulai dengan kamera analog point-and-shoot Fujifilm DL-80. Lalu ada Fujifilm Tiara II yang masih jadi kamera terfavorit sepanjang masa, Holga, Diana, kamera point-and-shoot yang kembaran sama Adek. Di tahun 2006 atau 2007 dapet kamera digital pertama, Fujifilm FinePix A510 warna hitam, 2010 dan seterusnya pake Canon, dan akhirnya 2016 jatuh cinta sama Fujifilm X-T series.

Walaupun udah 2 dekade berkamera, aku bukan seorang yang bisa menyebut dirinya fotografer, cuman orang yang suka fotografi aja. Suka foto sana-sini dan menikmati tiap prosesnya. Dari nyiapin kamera, jalan cari foto, liat lewat viewfinder, pencet tombol shutter, edit, sampek terakhir dicetak. Kadang 10x15, kadang A4, kadang A3, kadang dibukukan. Fotografi jadi sarana bercerita, meditasi, dan mengekspresikan diri.

DSCF3364.jpg

Dari fotografi aku juga belajar banyak hal, terutama kesabaran dan ketelitian. Tanpa 2 hal ini, rasanya susah menghasilkan foto yang bagus. Sabar nunggu momen yang tepat, teliti dalam melihat sekitar. Ujung-ujungnya jadi lebih mindful ketika ambil foto, makanya kubilang fotografi sebagai sarana meditasi juga. Ketika semua di dunia ini bergerak cepat, fotografer dipaksa untuk melambat dan memperhatikan sekitar. Hal ini juga jadi salah satu alasan kenapa banyak orang yang kembali ke fotografi analog, termasuk aku.

Beberapa tahun belakangan, film mulai ramai lagi. Bukan, bukan film yang di bioskop. Ini film yang buat foto, kayak Kodak Portra. Fujifilm C200, Velvia, Ektachrome, Ilford HP, dan lainnya. Belakangan mulai banyak stok film yang baru selain pemain lawas, lalu ada beberapa kamera film yang baru keluar, kamera-kamera lawas makin banyak dicari dan harganya semakin meroket. Ini karena fotografi analog 'hidup kembali', semakin banyak peminatnya. Alasannya mereka sih macem-macem, ada yang karena suka warnanya, lebih estetik, nostalgia, romantisme, dan lainnya. Ada sesuatu yang berbeda dari fotografi analog yang ndak bisa didapatkan di fotografi digital.

Ndak mau ketinggalan kereta, aku langsung cari kamera analog di eBay. Ndak usah yang mahal-mahal, yang penting kecil dan bisa dibawa ke mana-mana. Akhirnya dapet Pentax Espio 80 seharga 6€. Cari film yang murah juga, dapet di drug store deket rumah, Kodak Gold 200. 8€ dapet 3 roll, 36 exposures. Kurang murah apa. Jepret sana, jepret sini, ndak tau nanti hasilnya gimana karena ndak bisa diliat langsung. Harus nunggu di-develop dulu, dan ternyata develop di photo lab Jerman mahal juga, 1 roll bisa 18€. Akhirnya nunggu pas pulang ke Indonesia aja, 1 roll 120.000.

Dari 1 point-and-shoot murah meriah ini, aku mulai 'teracuni'. Mulai nyetok banyak film di kulkas, barangkali nanti susah nyarinya. Trus pengen kamera yang lebih. Akhirnya beli Minolta X-700 dan Diana F+ (ini kado sih). Mulai coba-coba pake film yang mahalan kayak Portra 400, trus coba format beda juga karena Diana F+ pake format 120, sedangkan Minolta dan Pentax pake 135. Di Pentax dan Minolta ada lightmeter-nya, jadi hampir kayak kamera digital, tapi di Diana F+ beneran gambling. Bener-bener ndak tau hasilnya gimana.

5A001F47-3C2C-43C5-8743-845AB8AD7616.jpeg

Beda sama digital, di film ada batas maksimal berapa foto di tiap roll. Ada yang 12, 16, 24, dan 36. Ndak bisa asal jepret, semuanya harus dipikirin matang-matang, karena kalo udah salah yaa udah. Selesai. Tamat. Udah gitu, harga film juga ndak murah, bisa sampek 1€ per frame. Jadi, tiap frame-nya harus sebagus mungkin, every frame should count. Sedangkan di digital, kalo salah exposure atau ndak suka komposisinya bisa langsung diliat dan dikoreksi tanpa khawatir kehabisan frame, 1 kartu bisa ribuan foto. Di digital, jarang banget foto keluarnya cuman item atau putih doang gara-gara under-/overxposure.

Proses foto analog ini yang bisa jadi pembelajaran penting buat kalian yang suka fotografi. Bukan cuman kesabaran dan ketelitian yang harus dinaikin levelnya, tapi juga pemahaman tentang teknik. Selain itu, proses fotografi yang lambat ini juga bisa jadi ruang untuk bernafas, untuk lebih nyantai dan kalem, lebih menikmati prosesnya. Lebih memperhatikan sekitar, lebih paham dan lebih jelas soal apa yang mau difoto. Ada dorongan untuk lebih kreatif juga, kreativitas yang didorong keterbatasan sih.

Kalo ada yang tertarik nyoba foto pake film, aku sangat menyarankan lakuin aja. Coba pake yang murah meriah dulu, ndak usah pake Mamiya, Leica, Rolleiflex, atau teman-temannya. Nanti kalo suka, baru naik levelnya. Kalopun ternyata ndak suka, aku yakin banyak pelajaran yang bisa diambil kok. Apalagi kalo pakenya point-and-shoot, bisa jadi koleksi snpashot waktu lagi kumpul sama temen-temen, nanti dicetak, trus dibagiin sebagai suvenir.

Setelah tak pikir, kebucinanku juga bisa diliat dari fotografi. Kalo udah bucin, mata dan hatinya kayak dipakein lensa 85mm dengan aperture paling gede. Fokusnya ke kamu doang, yang lainnya ngeblur sakpole. Atau malah pake lensa tele yaa, soale kan jauh. Jauh di mata jauh di hati tapi tetep kamu yang tak pilih.