Kisah Inspiratif: Buka Usaha BnB di Jerman

Kisah Inspiratif: Buka Usaha BnB di Jerman

Pindah dari Clausthal ke kota yang ndak terlalu terpencil banget, tuh, rasanya lumayan terbebaskan. Mau ke mana-mana relatif deket, mau belanja cuman 200 meter dari rumah, transportasi umum juga depan rumah banget, ganti senar raket sehari jadi, bisa leluasa window shopping, banyak layanan pesan-antar, kalo mau pergi ke mana-mana ndak dikejar babi hutan, dan banyak hal kekotaan lainnya. Secara keseluruhan, aku bahagia. Seperti liat dunia baru gitu setelah terkurung di tempat tanpa peradaban selama bertahun-tahun.

Tapi bukan cuman aku yang bahagia. Ternyata, temen-temenku juga bahagia.

Bukan, bukan karena bisa lebih sering ketemu, don’t think too high of them, lah.

Tapi karena jadi ada tempat buat minta makan, numpang tidur, numpang internetan, numpang mandi, numpang hidup bentar. Kukira setelah bertahun-tahun ndak kayak gitu lagi, mereka bakal berubah. Ternyata aku yang salah kira. Tau-tau kirim pesan, isinya cuman, “Masak ndak? Kalo iya aku mampir,” “Mau makan, masakin yaa,” “Aku bentar lagi sampek rumahmu,” “Mau makan, mi ayam yaa, nanti juga nginep.” Rumahku mendadak jadi BnB lagi.

Di tiap-tiap kunjungan mereka, pasti ada aja “teh yang tumpah.” Tumpahnya sering luber ke mana-mana pula, dan sering banget tehnya super “spicy.” Dan seperti biasa, omongannya makin ndak jelas arahnya seiring larutnya malam. Kadang udah kayak orang mabok, padahal ndak ada yang minum. Mabok air keran kali, yaa. Eh, bisa jadi, lho. Air keran di sini ndak kayak di Clausthal yang super segar, malah kayak air kolam penuh kaporit dan bahan kimia.

Cordoba, June 1914 (top) and March 2019 (bottom)

Ndak jarang juga kami ngobrolin kejadian-kejadian di masa yang lampau, kenangan-kenangan masa lalu. Entah itu kenangan soal jalan-jalan, soal penderitaan, soal percintaan, fashion-sense evolution, perubahan sikap dan pandangan hidup, dan banyak lainnya. Reminiscing the old days di rumahnya “unofficialdocumentation guy, tentu saja mengenang tiap kejadiannya sambil liat foto-foto yang aku ambil sepanjang perjalanan kami. Kadang liatnya lewat komputerku kalo mau yang lengkap. Kadang mereka langsung akses serverku dan liat-liat sendiri. Ndak jarang juga buka album Instax-ku, sambil liat momen-momen mana yang paling “penting.”

Dalam skala yang lebih besar lagi, ada project dari Albert Kahn yang namanya “Archive of the Planet”. Isinya foto dan video dari awal abad ke-20 dan diambil dari berbagai penjuru dunia. Seru, lho, liatin arsipnya mereka. Liat gimana kota-kota zaman dulu, kehidupan orang-orang zaman dulu dari berbagai tempat di dunia, seberapa banyak perubahan yang terjadi. Bangunan dan tempat-tempatnya, sih, ndak banyak berubah, tapi keliatan banget orang-orangnya yang berubah. Oke, harusnya “Archive of the Planet” itu jadi bagian tulisanku sebelumnya, yang A Sunny Day in Heidelberg. Tapi, karena satu hal dan yang lain, akhirnya harus kuganti jadi ke sini. You know, stuff happens, hehe.

Basilica of Sant'Ambrogio, Milan, September 1913 (left) and October 2019 (right)

Foto-foto lama, entah itu di album ataupun di komputer, jadi jendela ke masa yang lalu. Jadi refleksi juga, how far we’ve come, apa yang berubah, apa yang udah dikorbankan untuk sampek di titik ini. Kadang ada kejadian ndak enak di masa lampau, kejadian yang bikin kita merasa terpuruk, but without them, we won’t be standing here right now. Biasanya, sih, baru sadar setelah liat ke belakang, pas masih di tengah-tengah tragedinya, yaa, sambat teros. Siapa? Yaa aku, dong, siapa lagi.

To photograph is to remember they said, but isn’t it funny that we ran around every day with a camera but we hardly have any photos of important people in our life.

All older photos are taken from Archive of the Planet.