Kereta Tua Di Harz

Kereta Tua Di Harz

Iya, ini masih di tengah-tengah pandemi. Tapi, apa ndak bosen di rumah terus? Bosen kan. Makanya jalan-jalan dong. Lagian sekarang kan udah ada kelonggaran, asal disiplin social distancing, pake masker, rajin cuci tangan, ndak papa deh. Toh ini juga perjalanan pendek, cuman ke puncak gunung doang.

DSCF3438.jpg

Seperti yang udah aku bilang berkali-kali , Clausthal terletak di Pegunungan Harz. Nah, Pegunungan Harz ini punya puncak atau titik tertinggi, namanya Brocken, yang juga jadi titik tertinggi di Jerman bagian utara. Yang udah pernah baca Faust-nya Goethe, pasti tau dong. Mephistopheles ngajak Faust ke Brocken pas Malam Walpurgis, malam kumpulnya para penyihir. Barangkali nanti ketemu Mephistopheles juga kan. Selain itu, Brocken dan Pegunungan Harz nyimpen banyak banget berbagai cerita dan legenda, ndak salah kalo aku selalu menjelaskan tinggal di Harz kayak tinggal di negeri dongeng. Isinya penyihir, putri, kurcaci, dan berbagai hal lainnya.

Pendakian pagi ini jadi pendakianku yang pertama ke Brocken, sedangkan yang lain udah 2 kali atau lebih. Jalur yang diambil adalah Goetheweg atau Goethe's Trail. Jalannya Pak Goethe. Jadi, dulu Pak Goethe ini pernah naik ke Brocken pas lagi suntuk dan butuh inspirasi. Tapi, jalan yang namanya diambil dari Pak Goethe ini bukan jalan yang dulu ditempuh Pak Goethe, jalan aslinya mah udah ndak tau yang mana. Yaa susah, udah 2,5 abad yang lalu.

Sepanjang perjalanan, kanan kiri isinya cuman pohon pinus. Sesekali papasan sama sungai kecil yang ternyata juga banyak ikannya. Trus lewat Radauer Born Moor, yang katanya salah satu moor terbesar dan tertua di Jerman, kurang lebih 10.500 tahun! Yaa pantes aja banyak hantunya, lha tanah tua gini. Naik gunung di sini juga enak udah jalan setapak dan banyak yang udah diaspal juga. Kalo capek, bisa berhenti di bangku-bangku yang banyak disediakan sepanjang perjalanan. Tanjakannya juga biasa aja, cuman ada 1 tanjakan yang kayak setan. Sisanya cenderung landai. Yang udah sering muncak di Indonesia pasti bilang ini ringan lah.

Perjalanan dari Torfhaus, pos pertama, sampek puncak cuman 2,5 jam. Itupun udah pake banyak istirahat dan berhenti buat foto. Di atas, makan siang bentar trus foto lagi dong. Foto di depan menara TV pertama di dunia, yang dulunya buat nyiarin Olimpiade Berlin 1936, foto di penanda jarak antara Brocken dan kota lainnya di dunia. Karena ndak ada Jogja, ndak ada Jakarta, ndak ada New York, dan ndak ada Manchester, aku foto yang London aja deh yaa. Oiya, kalo naik ke Brocken ndak perlu bawa tulisan "xxxx mdpl", udah ada di sini, tinggal antri foto aja sama turis lainnya. Brocken 1142 mdpl. Brocken emang ndak terlalu tinggi, tapi tetep aja harus bawa windbreaker walaupun musim panas. Anginnya tu lho ndak nguati, masuk angin aku kayaknya pulang dari sini.

Untuk sampek ke puncak, sebenernya ndak harus jalan kok. naik sepeda bisa, atau kalo punya uang lebihan bisa naik kereta tua. Tentu saja, sebagai Sobat Misqin, naik kereta bukan pilihan, sedangkan naik sepeda juga bukan pilihan, karena capek nggenjotnya. Pokoknya by-sikil tetep nomer 1. Tapi kalo emang punya uang dan pengen pengalaman yang menarik, aku saranin pake banget, naik kereta aja. Dari Wernigerode perjalanan sekitar 2 jam, lewat hutan dan mengelilingi gunungnya sebelum sampek ke puncak. Pokoknya bagus banget deh. Kapan lagi bisa naik kereta lewat hutan-hutan dan gunung? Eh, tapi di Ambarawa ada kan yaa?

Perjalanan ke Brocken itu sama kayak perjalanan hidup. Jalannya kadang mulus, kadang terjal, jalan licinnya juga ada, kadang ada tanjakannya yang kayak setan juga. Kadang pemandangannya bagus, kadang biasa. Ada yang jalan santai, ada yang lari, ada yang naik sepeda, ada yang naik kereta. Ada yang nanti sampek puncak duluan, ada yang sampeknya masih nanti, ada yang sengaja berlama-lama di jalan, menikmati, ada juga yang belom sampek udah puter balik.

Sama kayak aku dan kamu. Kamu naik kereta, sedangkan aku masih jalan cepet sambil kadang lari. Keretamu dan aku pernah papasan sekali, dan dari jendela, kamu tersenyum dan melambai ke arahku sambil teriak kalo kamu bakal nunggu di atas. Lalu keretamu berlalu, meninggalkan jejak asap dari cerobongnya. Aku tau, aku yang by-sikil ini ndak bisa ngejar keretamu, yang aku bisa hanya mempercepat jalanku. Kaki lecet, pegel, nafas ngos-ngosan, kehujanan, kepanasan, ndak masalah. Tapi, secepat apapun aku jalan, pasti makan waktu yang lama. Jadi, sebagai terima kasihku karena sudah mau menunggu, kuambilkan foto-foto cantik di sepanjang perjalanan sebagai hadiah untukmu di stasiun puncak nanti. Tentu saja, dibelakang foto-foto itu sudah kutuliskan berbagai cerita dari perjalananku. Aku tau kamu selalu kesulitan baca tulisanku, jadi, kuceritakan saja nanti di stasiun sembari menunggu kereta selanjutnya, lalu bersama-sama menuju stasiun-stasiun dan puncak-puncak lainnya.

DSCF3525.jpg

Andaikan nanti kamu ndak betah nunggu lama dan memutuskan untuk pergi dari stasiun di atas, ndak papa. Mungkin di atas nanti ada yang lain buat aku, dan kamu dapat yang lain di stasiun berbeda. Apapun yang terjadi nanti, aku tetep makasih ke kamu karena sudah menemukanku di tengah-tengah hiruk-pikuknya jalanan. Terima kasih sudah menarikku dari kubangan dengan tali harapan bahwa nanti hidup kita akan bersinggungan.

Yak fotonya mas, mbak, 25-40€ saja buat selembar A3.