Ke Mana Aja?

Ke Mana Aja?

Beberapa waktu yang lalu, salah seorang temenku tiba-tiba telfon lewat FaceTime. Ndak ada ujan, ndak ada angin, ndak biasanya anak ini telfon dadakan kayak gini. Pas tak angkat, ternyata curhat dong. Katanya, dia habis ngajak main salah seorang mantannya. Niatnya, sih, emang cuman mau ngajak main gitu. Tapi yaa kalo bisa tipis-tipis, sekalian lah yaa. Dan kalo tak liat-liat, si anak ini masih kesengsem juga sih. Dia mendeskripsikan mantannya tuh masih punya senyum dan tatapan yang sama kayak dulu. Ndak berubah sedikitpun. Lembutnya, ramahnya, manisnya, cara dia benerin rambutnya, cara dia ketawa, dan segalanya masih sama kayak dulu, hal yang sama yang bikin Raka, bertahun yang lalu, jatuh hati ke Mbak Karin. Di saat itu dia sadar, kalo Mbak Karin ini safe haven-nya dia. Orang yang bener-bener bisa bikin dia merasa aman, merasa nyaman. Dan karena itu pula lah, Doni ini memberanikan diri buat bilang,

Might be weird, but I think I still have something for you.

Mbak Karin, terkejut dengan sangat, cuman bisa tertunduk sambil ketawa kecil. Raka bingung, nanya apakah Mbak Karin sehat.

Yaa Mbak Karin sehat sih, Raka yang ndak. Ndak ada apa-apa, tau-tau dropping massive bomb kayak gitu.

Mbak Karin menghela nafas, angkat kepala, lalu menatap mata Raka dalam-dalam lalu bilang,

“Kamu ke mana aja? Where were you all this time, all this year I’ve been waiting for you.”

Raka, kebingungan, cuman bisa bilang, “Hah?”

Sampek sini, apakah kalian mengira ini bakal berakhir indah? Oh, tentu saja tidak. Mana ada cerita di sini berakhir dengan indah?

Oke, si Raka ngira bahwa dia bakal punya kesempatan lagi sama Mbak Karin. Setelah mengungkapkan semuanya dan saling jujur-jujuran, Raka bahagia dong, karena Mbak Karin ternyata nungguin dia.

Sayangnya, Mbak Karin ndak bisa berbuat apa-apa.

Yaa gimana mau berbuat apa-apa, lha udah di-DP sama orang lain.

Iya, jadi Mbak Karin ini mau diajak main sama si Raka karena cuman pengen nyerahin undangannya secara langsung aja.

Mantap.

Aku yang denger ceritanya, langsung mbrambangi seketika. Yaa gimana, sakit gitu lho. Setelah bisa jujur dan yang dijujurin juga merasakan hal yang sama, tapi ternyata telat. Keduluan orang. Keduluannya udah pake banget pula, udah di-DP, ndak bisa “ciat-ciat” sedikit. Ndak, asas “selama janur kuning belum melengkung” ndak bisa dipake di sini. Kita orang beradab yaa, ndak bisa main kayak begituan. Ndak, asas satunya, “kalah duit menang wirid, kalah rupa menang dupa” juga ndak bisa dipake. Udahlah, biarlah Mbak Karin hidup bahagia. Toh, pada akhirnya, mereka berdua wishing for each other’s happiness and stay as a good friend. Udah cukup, udah ada closure yang bagus.

Di akhir telfon, Raka berandai, kalo misal dia ndak sibuk dengan kuliah dan kerjanya, mungkin ndak yaa jalur hidupnya berubah? Yaa ndak tau, kok tanya saya. Tapi keadaan mereka dulu cukup bisa dipahami sih. Walaupun mereka tinggal di negara yang sama, kotanya cukup berjauhan. Belum lagi beban sebagai mahasiswa diaspora, juggling between Uni-life and work-life isn’t easy. Kalo ditambah mikir soal cinta-cintaan yaa ndak mashok. Hidup mereka sebelumnya tuh punya tujuan yang sama sebenernya, tapi ndak bersentuhan. Kayak dua garis yang parallel gitu deh, ke arah yang sama, tapi terpisah.

Kejadian yang mirip-mirip sama ceritanya Raka tuh ndak jarang lho. Ada berapa banyak orang di hidup kita yang datang, lalu pergi karena kurang tepat. Entah kurang tepat menurut selera kita, entah kurang tepat karena tujuan hidup berbeda atau pandangan hidup berbeda, atau malah karena waktunya yang tidak pas. Iyaa, orang yang tepat di waktu yang salah. Entah emang salah waktunya aja kayak si Raka, entah salah karena prioritas mereka lagi beda, atau alasan lainnya lagi. Apapun alasannya, timing yang ndak tepat ini sering banget menyita porsi di pikiran. Bikin kepikiran could have and should have.

Tentu saja aku punya cerita sendiri soal ini, karena pada suatu masa yang lampau, I was this close. Garisnya udah menyatu, bener-bener menyatu. There were nothing left between us, not even the world. Well, except my unavailability. Yaa gimana, dia tinggal di mana, akunya tinggal di mana. Itu doang sih. Yaa ndak “doang” juga sebenernya. Mengingat keadaan saat itu yang sangat-sangat genting, availability becomes the best ability. Apalagi, di hari terakhir aku ketemu dia di bandara, aku dapet surat kecil yang isinya kayak gini:

“We both know that we always wanted the best for us, and I know that it means to let you go.

I need you to do the best, and that’s being there. Not here.

But I want you. I want you here.

I want you with me.”

Gimana ndak hancur hati. I still remember that day like it was yesterday, when I read that letter while they held my pinky tight, soale kita dulu emang ndak suka pegangan tangan. Sukanya pegangan kelingking. They were trying really hard to hold their tears while I was trying hard to not cancelling the flight. Pada akhirnya aku tetep berangkat, dengan hati yang hancur dan surat kecil yang kulipat rapi dalam dompet.

Things were hard, especially with what they had to face at that time. We did a lot of video calls where I could hear them laugh. But a laugh is never the same over the phone. A pinky they can hold could help a lot, but it could only be seen on the screen. They asked multiple times when would I be visiting them. I would then say, soon.

I was distraught, seeing them getting worse with each video call. The calls are barely helping by that time. I knew that I had to be there, but I couldn’t. It was impossible.

We were trying our best, though. They were trying their best to wait and survive, and I tried my best to get everything done faster.

By the time I was finishing, it was already too late.

Kadang aku masih mikir, andaikan di bulan Oktober aku nyisihin waktu bentar aja, mungkin ndak, semuanya berubah. Kalo iya, mungkin di bulan Agustus depannya kami jadi meresmikan semuanya. I already ordered a very special, one-of-a-kind flower bouquet from Canada and a pair of ring. I already asked our friends to help with the surprise and everything, got the plan laid down, and everything fell through. I still gave them the flowers though. Dumb me.

Kalo diliat dari luar, mungkin gampang aja nyalahin dia sepenuhnya. Tapi kalo diliat dari cerita keseluruhannya, emang karena di faktor availability. Ingat, the best ability is availability. Mau digimanainpun, aku ndak bisa menyediakan itu sama sekali. Tapi di sisi lain, aku juga ndak bisa membenarkan cara dia sih, masih cukup mangkel juga, tapi yawes lah yaa. Birds of a feather flock together. Emang ndak beda jauh sih soalnya.

Maybe, someday, in some other life, it will be our time.

Yaa cerita yang sedih kayak gitu sih, cerita yang konyol juga ada. Keduluan orang gitu ceritanya, tapi bego sakpole sampek aku kalo mau cerita tuh malu banget. Tapi yaa kalo dipikir lagi, yaa sama aja sih, karena pertimbangannya juga availability. Apalagi yang ini beda negaranya jauh banget, dia di US aku di EU, dia ndak punya healthcare, akunya bolak-balik terapi ndak bayar. Mantap.