J.O.G.J.A

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu. Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat. Penuh selaksa makna.“

Sepenggal lagu dari KLA Project, judulnya „Yogyakarta.“ Ah, Jogja. Ku kangen, kangen dengan segala yang ada di sana. Makanan, tempat, suasana, orang-orangnya. Buat ku, tiap sudut Jogja adalah kenangan. Ndak selalu manis memang, tapi membekas. Disana ku tertawa, menangis, terjatuh, berdiri lagi. Disana ku belajar bagaimana bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan ku sendiri. Belajar bagaimana kerasnya kehidupan menampar muka jika bertindak tanpa berpikir. Berlebihan? Tidak juga. Jogja adalah kota yang menjadi saksi ´bangun`nya sisi gelap kehidupan ku. Sisi gelap yang sudah ku tinggalkan di belakang.

Jogja adalah kota yang penuh cinta dan romansa. Tiap jengkal tanah di Jogja menyimpan sisi romantisnya tersendiri. Bukan cuman buat ku, tapi tiap orang yang pernah ke Jogja. Tiap orang punya kenangan cinta tersendiri di Jogja. Begitupun ku. Kota ini pernah menyaksikan bagaimana cerita cinta seorang remaja yang selalu membohongi perasaannya sendiri. Cerita dimana sang tokoh utama gagal karena egonya yang terlalu besar. Dan terluka melihat teman yang menggandeng tangan wanita yang seharusnya jadi miliknya. Itu tak akan terjadi jika saja sang tokoh utama bisa jujur pada dirinya sendiri, jujur pada wanita itu. Kesalahan yang seharusnya tak akan diulang lagi.

Jogja juga menjadi saksi bagaimana eratnya persahabatan. Hanya dengan segelas kopi dan sebatang rokok sudah bisa menjadikanmu sahabat setiap orang. Tak perlu repot-repot pergi ke cafe, berjalanlah keluar dan kau akan menemukan tempat sederhana. Gerobak lusuh beratapkan terpal, bangku yang kadang sudah reot, tikar yang di beberapa bagiannya sudah menipis, penerangan remang-remang dari lampu teplok yang menambah romansa tempat ini, dan yang paling khas adalah ceret diatas kompor tanah liat berbahan bakar arang. Ya, angkringan. Tempat makan yang bisa dibilang menjadi ciri khas kota Jogja. Penyelamat perut para pelajar dan mahasiswa dengan kantong pas-pasan. Tempat tiap orang bertukar informasi terhangat, bercerita tentang perihnya hidup ini, dan sejenak melarikan diri dari kehidupan nyatanya. Seorang supir taksi bisa saja mendadak menjadi pengamat politik handal disini, seorang tukang becak menjadi pengamat ekonomi juga sudah biasa. Jika kau mencari pendapat orang tentang kehidupan dari sudut pandang berbeda, datanglah ke angkringan. Kau tetap akan dianggap teman dekat, walaupun kau baru bertemu di angkringan. Dan lihat saja, jika kau cukup sering datang maka tiap orang disana akan mengingatmu. Bukan sebagai orang yang baru kenal. Melainkan sebagai teman dekat. Sesuatu yang sulit kau dapatkan di tempat lain.

Jogja adalah kota pelajar. Ribuan pelajar dan mahasiswa datang tiap tahun ajaran baru dari berbagai daerah untuk menggapai mimpi dan cita-cita mereka. Di sini mereka diberi pencerahan, mereka memperluas wawasan, dan membekali diri untuk menggapai masa depan yang lebih cerah. Begitu juga dengan ku. Di Jogja ku kembali memantapkan diri untuk menggapai mimpi yang dengan mantap terucap 16 tahun yang lalu di tempat yang sama. Mimpi yang membawaku kesini, ke Jerman. Mengesampingkan segala kemungkinan buruk yang terjadi, ku memperjuangkan segalanya kembali dari nol. Melakukan perbaikan dalam sisi akademik maupun pribadi. Melepaskan diri dari jeratan lubang hitam yang mengikat selama dua setengah tahun.

Jogja selalu punya tempat tersendiri di hati dan kehidupan ku. Segalanya yang ku alami di kota ini membentuk ku menjadi pribadi yang lebih tau makna kehidupan, lebih bisa bertanggung jawab, tau bagaimana rasanya tenggelam dalam sisi gelap dan diselamatkan oleh orang terdekat. Jogja adalah salah satu mozaik terbesar dalam hidup ku.