Goldener Oktober
Seperti yang (mungkin) kalian sudah tau, dari 4 musim yang ada, musim gugur jadi musim terfavorit buat aku. Musim gugur tuh kayak musim semi, tapi daun-daunnya jadi bunga. Daun-daun yang tadinya hijau berubah warna jadi merah, jadi kuning, lalu jadi coklat keemasan. Rasanya, dunia seperti bertabur brown sugar dan kayu manis.
Musim gugur juga secara kebetulan jadi saksi banyak kejadian penting dalam hidupku, dan tahun ini ada nikahannya Yana. Penting lho ini, pertama kalinya hadir di nikahan temen sendiri setelah batal ke nikahannya Dayen gara-gara Corona.
Selain deg-degan karena Yana nikah, aku juga deg-degan karena harus jadi fotografer bareng Bagas di nikahannya nanti. Bagas belom pernah foto nikahan, aku juga ndak pernah. Tapi seenggaknya, Bagas tertarik foto orang, sedangkan aku ndak tertarik sama sekali. Jadi, kami berdua memutuskan untuk "latihan". Latihan di mana? Di jalanan dong! Sekarang lagi goldener Oktober alias golden October, daun-daun lagi kuning semuanya.
Biar lebih greget, aku ngajak Bagas 24 Frames Challenge. Apa sih itu? Kembali ke masa fotografi analog, 1 roll film isinya (yang 35mm) cuman 24-36 foto. Ndak bisa sembarangan jepret karena terbatas. Nah, biar sore ini motretnya lebih mindful dan ndak asal jepret, hadirlah 24 Frames Challenge. Sebenernya, biar lebih berasa kayak analog fotografi, ISO-nya dibatasi. Berhubung cahayanya agak tricky, diputuskan untuk membebaskan ISO.
Dari Marktplatz, langsung jalan menuju ke Schwanenteich, nyari boulevard yang bagus. Jalan santai sore sambil ngobrol ringan. Ngobrolin hidup, kuliah, diskusi soal fotografi. Bagas dan aku punya lumayan banyak kesamaan sih. Sama-sama dari Jogja, sama-sama di SMA 1 (dia negeri, aku cabang Muhammadiyah), sama-sama pernah serumah, sama-sama pernah sekampus, sama-sama suka fotografi, sama-sama suka masak, sama-sama pernah suka ... (HEH!). Yang jelas, sama-sama korban sales. Damai yaa Gas, damai.
Di Schwanenteich alias Danau Angsa, Bagas foto angsa dan aku nyari daun yang masih merah. Lumayan kan buat pemanasan. Di sini kami juga diskusi tentang histogram, perbedaan kamera analog dan kamera digital, gimana kamera 2 zaman berbeda ini memperlakukan highlight dan shadow.
Setelah puas neriakin angsa (quack quack, mf!), lanjut jalan ke boulevard di sampingnya. Di sana, ada beberapa orang yang lagi jalan bareng anjingnya, sepasang kakek-nenek ngobrol di bangku, anak-anak kecil lagi ngumpulin chestnut yang udah pada jatoh. Di sini, aku minta tolong Bagas jadi model dan nanti gantian. Oiya, hari ini aku pake 50mm atau 75mm di full-frame. Focal length yang ndak biasa tak pake, tapi harus dibiasakan karena besok foto nikahan harus pake yang panjang-panjang.
Aku tetep kesulitan foto orang, kayak ndak pas aja gitu. Bandingin sama hasilnya Bagas, jauh lebih bagus punya dia. Lebih hidup gitu rasanya. Padahal yaa tempatnya sama, kameranya sama, cuman kayaknya yang bikin punya dia lebih bagus tuh karena diambil dari lower angle, sedangkan aku masih dari eye level. Kayaknya aku emang harus belajar buat lebih sering ndlosor deh yaa.
Sayangnya foto-foto hari ini harus dihentikan karena Ravin sama Goci udah nyampek dan di rumah ndak ada orang. Padahal baru dapet 5 foto. Tapi ndak papa sih, masih ada hari esok. Esok bakalan lebih banyak lagi sih fotonya, burst mode activated!