FAPETMILK

FAPETMILK

Living in the moment.

Being present.

Kalimat itu kayaknya salah satu nasihat yang paling sering aku denger. Banyak banget yang nyuruh aku hidup santai, menikmati apa yang ada sekarang. katanya, aku terlalu ngebut jalannya. Terlalu kemrungsung. Tarik nafas, duduk di sofa sambil minum teh. Oke, aku ndak minum teh, dan aku paling ndak suka nyantai tanpa ngapa-ngapain. Aneh rasanya kalo cuman diem tanpa kerja sama sekali. Ketika orang bilang itu me-time, aku bilang kerja me-time. Aku juga paling ndak bisa liat jadwal kosong, makanya, gimanapun caranya, jadwal untuk setahun kedepan selalu tak penuhin. Kalo kamu udah pernah liat kalenderku, pasti tau lah gimana. Sampek detil ke jamnya juga tak penuhin.

Katanya, living in the moment itu penting, biar lebih mengapresiasi sekitar, ndak kehilangan momen. Ndak jadi ICE tapi jadi RE. Tapi harus kuakui, tiap lagi ngelakuin sesuatu, pikirannya udah melanglang buana ke mana-mana mikir kerjaan selanjutnya mau kayak gimana. Lagi ngobrol sama orang juga gitu, malah mikir besok perlu ketemu siapa lagi.

DSCF3757.jpg

Sampek akhirnya aku pencet tombol reset waktu di Budapest. Kosongin jadwal, kosongin jurnal, dan yang paling penting, kosongin pikiran dan perasaan. Begitu di rumah, aku langsung beberes, ngabarin Ravin sama Brot apa yang terjadi, packing, dan cari tiket. Sore beli tiket, besok pagi langsung berangkat ke Indonesia. Ndak bawa macem-macem, baju yang dibawa juga baju tidur sama baju olahraga semua. Overshirt yang dibawa juga cuman 1. Pokoknya baju yang bener-bener nyaman, ringan, cepet kering, dan multi-fungsi lah.

Begitu di Jogja, semua media sosial kumatikan. Surel kumatikan. Hp banyak masuk laci, yang sering di tangan cuman Kindle. Awal-awal rasanya aneh. Bosen. Ada penyesalan karena merasa ndak produktif. Sehari-hari cuman diisi dengan ngobrol sama keluarga besar, nerima tamu. Tidur, makan, baca, ngobrol, makan, tidur lagi. Apesnya, di keluarga besar ndak ada yang sepantaran sama aku. Yang di atasku, lebih tua 5-6 tahun, udah pada punya anak. Yang di bawahku, lebih muda 4-5 tahun, masih SMA atau baru masuk kuliah. Udah bisa dianggap beda pergaulan. Jadinya aku apa-apa yaa sendirian.

Duduk di sofa yang kalo dipake tidur bikin pegel luar biasa, tarik nafas dalam-dalam sambil merem. Lama-lama enak. Lama-lama aku menikmati keadaan seperti ini. Tiap obrolan rasanya ada maknanya, tiap momen rasanya terekam jelas dalam pikiran. Ketika aku udah punya temen ngobrol, aku lebih bisa fokus ke pembicaraan dan ke orangnya. Saat itu, waktu rasanya berjalan pelan banget. Tiap detiknya lebih berharga dari apapun yang udah dilakukan selama belasan tahun terakhir. Waktu yang sudah terbuang sia-sia selama itu, dibayar tunai dalam beberapa minggu terakhir. Omongan yang awalnya tanpa isi, berevolusi menjadi obrolan yang tak pernah kudapati. Obrolan tentang hidup, tentang mobil, tentang kawan, tentang momen-momen di masa lampau, tentang peliharaan, tentang bebatuan dan mineral, tentang makanan, tentang kisah-kisah dalam perjalanan kami, tentang segalanya yang tak sempat dibicarakan. Tak hanya bertukar cerita dan tawa, tapi ada adu argumen ringan yang menstimulasi isi kepala. Bahkan, ketika tak berbicarapun, aku menikmatinya. Ketika kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, ketika kami bersebelahan dan berdekatan tanpa keluar sepatah kata. Inikah yang dikatakan oleh Prof. Hartmut Rosa sebagai resonan? Ketika ada frekuensi yang sama antara manusia dengan manusia yang lain, atau antara manusia dengan alam, dengan benda, dengan sekitarnya. Entah. Yang jelas, if you can't enjoy silence with someone, then you're unlikely to enjoy much conversation with them either.

DSCF7103.jpg

Saking tenggelam dan menikmati momen-momen ini, aku tak mengambil foto sama sekali. Sebuah pencapaian yang luar biasa, mengingat aku tak pernah absen mengambil gambar, tak peduli seberapa trivialnya momen itu. Yang kuambil hanyalah foto sebotol susu putih produksi Fakultas Peternakan (hence the name, FAPETMILK) yang disajikan dingin di tengah panasnya kota Jogja. Di labelnya tertulis "sweet plain", yang buatku sangat-sangat mendeskripsikan apa yang terjadi beberapa minggu terakhir ini. Momen-momen yang terjadi sangatlah plain, biasa aja, bisa terjadi kapan aja, tapi manis.

Tadinya mau foto martabaknya juga, tapi nanti bikin sakit hati. Ketika udah balik Jerman lalu buka galeri dan nemu foto itu, kan nyesek banget kalo ndak bisa makan. Apalagi martabak telor kiriman kawanku ini ginuk-ginuk tebel banget. Juara lah pokoknya. Makannya sambil nonton MU lawan Brighton, menang dong 3-1. Bapak, yang ndak jarang nonton bareng aku, tiba-tiba nyeletuk kalo MU sekarang udah hampir keliatan kayak MU zamannya SAF. Ole at the wheel, Pak!

Ndak kerasa, hari ini, 10 November 2019, udah 2 minggu aku di Indonesia. Banyak banget yang terjadi, tapi aku udah menuju normal. Andaikan aku masih jauh dari normal, entah apa yang terjadi. Mungkin aku masih menutup pintu buat semua hal dan semua orang dan akan banyak kehilangan momen-momen. The decisive moment. Momen yang cuman dateng sekali, kalo salah menyikapinya, hilanglah sudah dan cuman jadi penyesalan di hari nanti.

Apapun yang terjadi di depan nanti, aku merasa lebih siap. Kendala memang akan banyak di depan, terutama jarak dan waktu. Jarak lebih dari 17.000 km dan perbedaan waktu 5-6 jam bukan hal yang bisa disepelekan. Tapi janjiku, seberapapun jauh jaraknya, seberapapun lama perbedaan waktunya, aku akan selalu ada, siap tertawa dan beradu kepala bersama.