Di Pinggir Sungai Danube

Di Pinggir Sungai Danube

An der schöne blaue Donau. Karya dari komposer terkenal Johann Strauss II yang juga jadi unofficial anthem-nya Austria. Lagu ini juga dipake di beberapa kartun kayak Tom&Jerry, trus di film 2001 Space Odyssey. An der schöne blaue Donau kalo diterjemahin jadi On The Beautiful Blue Danube. Padahal nih yaa, sungai Danube itu ndak biru. Tapi cantik sih.

Sungai Danube ngalir dari Jerman sampek ke Laut Hitam. Dalam perjalanannya, ia melewati seenggaknya 10 negara dan banyak kota. Salah satunya kota Budapest di Hungaria.

Setelah kemarin puas berjalan di Milan, aku langsung ke Budapest. Ini keputusan impulsif dan menyalahi pendirianku kalo dalam sehari ndak boleh ke banyak tempat sekaligus. Tapi ndak tau kenapa yaa, dorongan buat ke Budapest gede banget. Selain karena tiketnya yang murah gila, aku males banget pulang ke Jerman. Toh masih libur juga, mending makan Goulasch dan Lángos daripada di rumah makan chicken wing terus.

IMG_1060.jpg

Jadi Budapest itu sebenernya bukan cuman 1 kota doang, tapi 3 kota yang dijadiin 1. Buda, Óbuda, dan Pest dijadiin 1 dan disingkat Budapest. Nah di tengahnya nih ngalir sungai Danube yang memisahkan Buda di sebelah barat dan Pest di timur. Oiya, baca Budapest itu Budapesh yaa. Sama jangan pernah bilang kalo Goulash itu semur/stew karena dia adalah sup. Dikeplak orang Budapest nanti lho. Oh 1 lagi, kalo makan Lángos pilihnya yang pake sour cream dan keju karena itu yang aslinya. Nah kalo udah nyoba aslinya, baru deh pake Nutella dan teman-temannya.

Beda sama jalan-jalan yang sebelumnya, kali ini aku ndak tau mau apa selain naik ke Fisherman's Bastion pas malem dan jalan kaki menyusuri sungai Danube. Yang biasanya selalu ke gereja, ini tumbenan banget ndak minat ke St. Stephen Basillica. Museum pun ndak ada yang tersentuh sama sekali. Pokoknya malem ke Fisherman's Bastion trus jalan kaki sepanjang sungai Danube!

Malam di Budapest ternyata cukup berangin dan dingin. Wajar aja, ini udah masuk musim gugur. Setelah kemarin salah kostum dan kehujanan di Milan, sekarang aku salah kostum dan kedinginan di Budapest. Untungnya, tiket transportasi di Budapest ini murah banget jadi ndak perlu jalan sambil kedinginan. Bahkan katanya warga EU dan lansia bisa naik secara gratis! Tapi ada baiknya bayar aja sih, it cost next to nothing dan menghindari resiko menghadapi petugas yang ngeyelan.

Di Fisherman's Bastion, aku langsung cari tempat duduk, taroh tas di samping, dan lepas earphone. Menenggelamkan diri dalam hiruk-pikuk suara turis. Suara tawa, obrolan yang ndak jelas dalam bahasa apa, suara tangis anak kecil, suara denting alat makan beradu dengan piring dari dalam cafe. Lamunanku pecah bersamaan dengan pecahnya botol yang kupegang. Jatoh bro. Padahal Nalgene katanya awet yaa, ini tutupnya somehow pecah. Sebagai kiper, aku malu mengakui bahwa aku punya butter hands. Tapi ndak gini juga kali, kok yaa lepas dari genggaman sih botolnya. Kayak dia yang tak pernah bisa kugenggam.

IMG_1068.jpg

Karena udah makin malam, aku memutuskan untuk jalan turun ke seberang gedung parlemen dan mulai menyusuri sungai dari sana. Sebelum turun, foto dulu dong! Udah jauh-jauh ke Budapest kok ndak foto. Cantik lho Budapest dari sini. Andaikan aku ndak males gitu, aku naik lebih tinggi trus foto kota Budapest pake lensa tele. Lebih jos!

Jalan dari Fisherman's Bastion ke Danube ndak jauh-jauh banget, jadi ndak perlu pake bis atau tram. Udah gitu jalannya kan menurun, jadi ndak terlalu capek lah. Lewat lorong-lorong sempit dan gelap, ini kalo aku diculik ndak bakal ada yang tau. Eh, tapi keren juga yaa lorong-lorong sempit kayak gini ndak pesing. Kan seringnya tempat-tempat kayak gini rawan kepesingan (looking at you, Berlin, Frankfurt, and tons of other cities in Germany).

Gerimis mulai datang pas aku sampek di pinggir Danube. Udah berangin, hujan pula. Tapi biarlah, aku tetep pengen jalan kaki menyusuri Danube. Mbuh ke arah mana, aku tetep jalan aja pokoknya. Danube silau banget ternyata. Kapal-kapal dengan lampu warna-warni, lalu-lalang bawa turis yang lagi party. Lampu dari jembatan dan dari kota terpantul di permukaan sungai. Sebagai anak pedesaan di pucuk gunung, ini bikin sakit mata.

Sungai, selain memantulkan lampu-lampu tadi, juga memantulkan cerita. Cerita manusia. Sungai dan laut selalu kuibaratkan sebagai jurnal, catatan besar kisah manusia, dan karena ini juga, aku ndak setuju dengan peribahasa bagai menulis di atas air. Peribahasa yang artinya melakukan hal yang sia-sia. Cerita-cerita manusia dari masa yang lampau hingga masa kini ditulis di atas air. Air yang jadi saksinya. Dari dimulainya peradaban di Fertile Crescent, para penjelajah besar yang mengarungi luasnya samudera, saksi terbentuknya negara besar. Ia juga menyaksikan jatuh cinta dan patah hati manusia. Senangnya. Sedihnya. Andai mereka bisa bicara, aku akan jadi yang terdepan untuk mendengarnya.

Tapi jangan bicara deh, sungai menjadi pendengar dan saksi yang baik karena dia ndak bisa bicara. Ndak bisa cerita ke siapa-siapa, ndak bisa mbocorin rahasia orang. Aku berhenti jalan dan duduk di kursi di pinggir Danube. Untuk kali ini, aku rasa aku ndak bisa diem aja. Mumpung ada yang mau mendengarkan tanpa menghakimi dan menghukumi.

IMG_1088.jpg

Bingung rasanya mau memulai dari mana. Aku memang pencerita, bercerita tentang sejarah, mitologi, tentang segala minatku. Tapi aku ndak pernah cerita tentang diriku sendiri, tentang apa yang kuhadapi dan kurasakan. Menurutku itu hal yang ndak menarik dan ndak penting untuk diceritakan, lagipula apa gunanya aku cerita kehidupanku ke orang lain?

Aku memutuskan memulai dengan bercerita tentang rencanaku selama di Budapest. Lalu bercerita ngalor-ngidul tentang kuliah dan hidupku di Jerman, tentang susah dan senang menjadi diaspora. Bagaimana rasanya harus meninggalkan keluarga di Indonesia, terpisah 17.000 km. Air dari hujan gerimis yang menerpa wajahku mendadak jadi hangat. Aku yang tadinya bercerita dengan sumringah dan tertawa, mendadak bergetar suaranya. Ada bulir-bulir yang mengalir di pipi bersamaan dengar air hujan. Kubiarkan mereka mengalir tanpa menyekanya, barangkali penuhnya kepala dan hatiku akan larut bersamaan dengan mengalirnya bulir-bulir ini.

"Danube, aku ndak tau harus apa."

Di situ aku berkata jujur, bahwa perjalanan ke Milan dan Budapest bukan dalam rangka liburan atau bekerja, tapi melarikan diri. Melarikan diri dari rutinitas, dari kenyataan, dari segalanya yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Melarikan diri dari duniaku yang runtuh. Aku berusaha mencari tempat di mana aku ndak perlu jadi orang yang kuat dan mandiri, tempat di mana aku bisa menunjukkan kerentananku. Beban sebagai anak laki-laki paling tua, diharapkan keluarga, dengan banyak orang yang menggantungkan hidupnya, aku merasa harus selalu lebih kuat dan mandiri daripada orang lain. Aku ndak pengen orang lain kehilangan harapan dan pegangan ketika dihantam dengan masa sulit seperti ini.

"Danube, aku ndak tau harus gimana."

Malam itu, Danube jadi saksi, seorang Tama yang hidupnya teratur dan terstruktur, jadi ndak tau harus apa. Berbagai plan yang udah terjadwal jelas di Notion rasanya ndak berguna. Ndak ada artinya. A well prepared man sekarang jadi confused man. Gelap. Buta. Tuli. Mati indranya. Mati hatinya. Mati pikirannya. Mau tanya Danube sekenceng apapun ndak bakal dijawab. Tanya ke diri sendiri apalagi. Mau tanya ke orang lain, siapa yang mau ditanya?

"Danube, aku mau pulang."

Bukan, bukan ke Jerman. Ke Indonesia. Secepatnya. Menurutku itu hal yang paling masuk akal untuk dilakukan. Segala jadwal di Notion dari Oktober 2019 hingga akhir 2020 aku hapus. Segala meeting, kelas, perjalanan, janji, aku batalkan. Aku langsung cari tiket tercepat ke Jerman. Sebelum beranjak ke bandara, aku berterima kasih kepada Danube. Terima kasih sudah menjadi pendengar yang baik. Sudah mempersilahkan aku menulis ceritaku sendiri.

Malam itu, aku jadi berpikir, ndak selamanya aku harus melihat jauh ke depan. Kadang melihat 30 cm ke depan saja sudah cukup. Dan aku diingatkan bahwa aku masih manusia, juga butuh kehangatan dan dihangatkan.