Dead Men Tell No Tales
It’s been a long time since I write anything about my travel. Sayangnya beberapa perjalananku yang terakhir ndak bisa diceritain, karena isinya banyak kerjaan dan hal-hal yang harus dirahasiakan. Sakjane ada satu-dua perjalanan yang bisa tak ceritakan, sih, tapi karena satu-dua hal (males dan males) jadi belom sempet.
Salah satu dari perjalanan yang bisa diceritain adalah perjalananku bareng salah satu sobat sambatku dari zaman batu, sebut saja Nawang. Nawang ini orang paling random dan impulsif yang pernah tak kenal. If you think I’m impulsive, wait until you met them. Aku ndak ada apa-apanya, wes. While I’m a calculated impulsive, Nawang is a chaotic impulsive. They often slept over at my place so this kind of scenario happened a lot. Like, A LOT:
(4:00 AM)
Get up and get your pass/car/motorcycle ready; we’re going to skip classes and fly/drive/ride to xxxxxx!
Ke mana? Ke mana-mana. Ke pantai, ke kota sebelah, ke provinsi sebelah, bahkan ke negara sebelah. Trus, kalo udah sampek, ngapain? Yaa duduk-duduk bego doang. Yang penting udah sampek dan udah menghirup udaranya, kalo kata Nawang. Beda sama Uki yang selalu ambil segenggam tanah dan dibungkus. Mau dikumpulin dan dijual, mumpung harga tanah lagi mahal, katanya. Being a happy-go-lucky person I was/am, I never questioned them why or tell them no. Termasuk di perjalanan berikut ini.
Musim panas yang lalu, Nawang tiba-tiba kirim pesan yang tulisannya cuman gini,
I’ll be in Barcelona in couple of hours, hotels on me.
Udah, gitu doang. Ndak ada salam, ndak ada basa-basi, ndak ada undangan yang jelas juga mau ngapain. Seperti biasa, aku juga ndak tanya apa-apa, ndak protes, ndak komentar juga. Dan beberapa jam kemudian, aku udah makan malam, ngunyah ayam di KFC Plaça de Catalunya bareng Nawang.
KFC adalah tempat sakral buat Nawang dan aku. Ayam mereka ndak pernah absen dalam tiap sepak terjang kami selama ini. Mau ngapain aja, mau di mana aja, tetep nyarinya KFC. Gerai KFC jadi tempat aman, a safe haven di tengah hiruk pikuk keasingan. Tapi kalo ada Jolibee, sih, milih Jolibee. Sayang, Jolibee cuman ada di Madrid.
Sembari oles-oles butter ke jagung rebus, aku membuka obrolan sedikit.
“Jadi, besok subuh mau ke mana?”
Nawang yang lagi asik ngaduk es krimnya (nggilani ini) cuman nyodorin gawai dan nunjuk sesuatu di layarnya. Di situ terpampang alamatnya Parc Güell, proyek perumahan mewah gagal yang didesain oleh Gaudi dan sekarang jadi, well, park.
“Ke sini, pagi-pagi. Katanya, kalo dateng pagi bisa masuk gratis.”
Ide bagus. Waktu ke Barcelona sebelumnya, aku punya rencana buat ke Parc Güell pagi-pagi biar ndak ketemu banyak turis dan bisa foto-foto sepuasnya. Sayangnya, kemalasanku masih nomor satu, dan rencana subuhan di Parc Güell batal. Jadinya tetep ngikutin jadwal di tiket yang udah dibeli. Tanpa babibu aku mengiyakan, berpikir barangkali bisa terealisasi, foto-foto bermandi matahari pagi di Parc Güell. Ndak lupa, sebelum keluar dari KFC aku mbungkus satu menu dulu buat sarapan besok. Anti keluar-keluar kalo belom makan-makan.
Dalam hidup, kadang hal-hal berjalan ndak sesuai rencana. Mungkin karena semesta belum mengizinkan, mungkin karena kita yang usahanya masih kurang. Tapi juga kadang kayak sekarang ini, ndak sesuai rencana karena kurang cari-cari info dan kurang update berita terbaru. Angan-angan foto bermandi matahari pagi di Parc Güell hanya tinggal kenangan karena jebulnya peraturannya udah diubah. Sekarang, turis ndak boleh masuk ke Parc Güell pagi-pagi, aksesnya khusus buat warga Barcelona doang. Aku ngomel ke Nawang, sedangkan dia cuman ketawa ngakak sembari nyalahin aku. Katanya, urusan planning dan cari info, tuh, tugasku, panggilan jiwaku, kenapa ndak dilaksanakan. Lah, iyaa juga yaa. Kebiasaan akunya iya-iya aja kalo diajak Nawang, jadi ndak kepikiran buat ngecek juga. Untung udah sarapan KFC, coba kalo belom.
Akhirnya kami berdua turun lagi, naik bis ke arah Arc de Triomf. Rencananya mau jalan pagi sepanjang Passeig de Lluis Companys trus ke Parc de la Ciutadella, trus duduk-duduk dan menghirup udara (yang bau merpati) di sana sampek elek. Tadinya mau ngobrol dan nostalgia sepanjang perjalanan ke Arc de Triomf, cuman akunya ngantuk dan capek pol. Jadi yaa tidur wae, ndak usah melankolis sok nostalgia segala. Pokokmen, turu nomer satu.
Update-update kehidupannya baru dimulai setelah kami sampek di Arc de Triomf dan jalan sepanjang Passeig de Lluis Companys. Update soal hobi baru, kisah perjalanan akhir-akhir ini, dan ndak lupa soal kesibukan masing-masing. Oiya, Nawang, walaupun bentukannya kayak begini, adalah seorang C-level officer di sebuah fintech di US. Dari dulu, ambisinya untuk jadi C-level officer di perusahaan keuangan menggebu-gebu. Demi gaji gede buat modalin keimpulsifan, katanya. Emang anaknya money-oriented banget, liat aja namanya, wang wang wang wang. Dan di antara satu geng, dia terbangnya paling tinggi. Tapi yaa isi gengnya cuman aku sama dia, jadi yaa gitu deh.
“Hara gimana kabarnya?” tanyaku.
Nawang yang tadinya cerita sambil cekikikan sampek diliatin orang-orang yang lewat, tiba-tiba diam. Dua tangannya ia masukkan ke dalam saku jaketnya, mungkin angin pagi di musim panas masih terlalu dingin. Matanya kosong. Duduk sana, yuk, ujarnya.
Kami berdua lalu duduk di salah satu bangku panjang di dekat Planell de Barcelona. Di sampingku, Nawang duduk meringkuk, tangannya masih di dalam jaket. Ini anak kedinginan, masuk angin, apa gimana, sih, batinku.
“They are dead to me,” pelan terlontar dari mulutnya.
Hah?
“Hara is dead, to me anyway.”
Oke kayaknya budegku kumat. Hah?
Nawang diam. Aku mau ‘hah’ lagi tapi ndak enak, karena kalo kebanyakan ‘hah’ jadi kering tenggorokannya.
Oke, buat yang ndak tau Hara ini siapa, tak jelasin ceritanya. Biar paham arah pembicaraannya ke mana.
Jadi, Hara ini adalah bunga hatinya Nawang entah dari kapan. Bukan buah hati, lho, BUNGA HATI. BUNGA HATI. Nah, Nawang ini emang tipe yang kalo jatuh hati seumur hidup sekali. Jadi, setelah sekian lama, setelah berjarak sekian jauh, bunganya masih subur, mekar merona dalam hatinya.
Hara sendiri, menurutku yang awam dan ndak peka, suka Nawang juga. Dia pernah bilang ke aku, kalo suatu hari nanti harus memilih dengan siapa menghabiskan sisa hidupnya, maka dia akan milih Nawang. Alasannya? Karena selama ini cuman Nawang yang bisa lihat dan memperlakukan dia sebagai manusia, menerima dia sebagai manusia yang penuh dengan kekurangan dan masalah. Dan Hara, untuk pertama kalinya, bisa melihat masa depan bareng orang lain setelah ada Nawang dalam hidupnya.
Both were madly in love with each other.
Tapi emang dasar anak manusia, ada aja aneh-anehnya. Nawang belom berani mengutarakan dengan jelas karena masih belom berani dan merasa belom tepat waktunya buat dia. Hara juga sama aja, merasa Nawang terlalu baik dan takut dirinya sendiri kurang, they felt they didn’t deserve Nawang. Hara juga merasa dirinya ibarat mesin rusak, bukan mesin bekas lagi. Ada lagi alasan lainnya yang lebih masuk akal tapi nganyelke juga, kayak soal jarak US-UK, atau masing-masing dari mereka yang sedang menempuh fase baru dari hidupnya.
Geregetan, akhirnya berdua tak panggil di satu video call dan tak puterin lagu Obvious dari musikal Dear Evan Hansen. Tak suruh dengerin bener-bener sampek liriknya menusuk ke hati dan pikiran masing-masing. Tujuanku biar mereka sadar, kalo kadang seseorang butuh denger langsung walaupun itu udah terlihat jelas. Tapi bukannya nemu solusi, telfonnya malah dimatiin sama dua-duanya. Lah.
Beberapa jam kemudian, Nawang kirim pesan suara dari Hara. Isinya, yaa, confession, or kind of. Intinya, Hara bilang kalo sekarang dia belom siap karena fase hidupnya saat ini belom mendukung, masalah pribadinya juga ndak membaik, lalu Hara juga bilang jujur kalo dia takut dirinya yang sekarang tidak cukup buat Nawang yang luar biasa baik. Jadi, lanjut Hara, ketika dia sudah bisa memilih, maka dia akan memilih Nawang. Dengan catatan kalo perasaan Nawang ke Hara masih sama dan Nawang masih bisa menerima Hara dengan segala masalahnya.
Happy ending!
Oke, balik ke Barcelona lagi.
Nawang cerita apa yang terjadi setelah confession malam itu. Lengkap, rinci sampai ke titik ini. Titik di mana, karena satu hal dan yang lainnya, Hara udah ‘mati’ dalam kehidupan Nawang. They are dead to Nawang.
Tak kira mati tenanan, jek.
Oh, jadi, dinginnya tadi bukan dari angin pagi di musim panas, tapi dari dalam hatinya sendiri. Ini mah tanda-tanda masuk angin.
“But not dead in a sense that they mean nothing to me,” lanjutnya. “They mean a lot to me, still are. It’s just that I don’t want to know whatever they are doing or being right now. I want to remember them as is, as I knew them before. The only way I know is to pretend as if they are dead, that they do not exist anymore. Okay, I’m starting to ramble. But it sure feels like I’m in limbo between really caring about them and not wanting anything to do with them.”
Nawang bicara panjang lebar, omongannya mulai ndak jelas, ndak nyambung bahkan. Tapi aku nangkep kalo dia lagi bingung banget. Bingung dengan perasaannya yang ndak sinkron. Wajar, sih, setelah dapet pesan suara yang isinya kayak gitu, dia pasti bahagia dan merasa ada resonance dari Hara. Tapi sayang, kenyataannya berbeda.
Setelah Nawang berhenti bicara, aku tanya, apa yang saat ini, detik ini, dia rasakan soal Hara.
“I love them; I still do.”
Bah, ngomel panjang lebar bermenit-menit ujung-ujungnya tetep lopyu lopyu.
Sampek sekarang, aku masih mikir. Ini karena saking cintanya jadi kayak gini apa gimana? Sehat ndak, sih, kayak gini? Entahlah. Mereka punya alasan dan pembenaran masing-masing soal tindakannya. Sebagai penonton, aku merasa ndak berhak buat komentar apa-apa. Mau tanya ke Hara, tapi dead men tell no tales. Diceritain aja, udah makasih. Siapa, sih, yang ndak suka sinetron kayak gini?
Nek aku, yaa jelas. Yang lalu biarlah berlalu, mari tetap melangkah maju cari pasangan baru.