Arkeologi Perminyakan

Arkeologi Perminyakan

Kemarin, aku nonton film dokumenter dari Netflix, judulnya Secrets of the Saqqara Tomb. Dokumenter yang dirilis bersamaan dengan momen Halloween ini bercerita tentang usaha tim arkeolog Mesir untuk menguak kehidupan dari Wahtye, pendeta di zaman Dinasti Kelima Mesir Kuno, dan keluarganya. Penemuan makam yang ndak tersentuh selama lebih dari 4000 tahun ini bisa dibilang jadi penemuan paling penting dalam 50 tahun terakhir.

DSCF4911.jpg

Dipercaya punya daya magis yang bisa menolong orang mati di alam sana, Saqqara jadi tempat yang penting dalam industri kematian di zaman Mesir Kuno. Ndak cuman buat pemakaman aja, tapi juga berbagai industri yang berhubungan, kayak bikin sarkofagus dan layanan pemumian. Ndak cuman manusia doang yang dikubur di sana, tapi juga hewan macam kucing, buaya, ular, dan yang ditampilkan di dokumenter, anak singa.

Nonton tim arkeolog ini kerja, ada rasa excited dan juga ada rasa sedih. Excited karena aku suka banget hal-hal yang berhubungan dengan arkeologi dan Mesir Kuno, sedih karena jadi inget bahwa aku pernah punya cita-cita yang jelas. Cita-cita yang pernah dengan menggebu-gebu tak perjuangin. Cita-cita yang sekarang cuman jadi artefak. Cita-cita jadi arkeolog.

DSCF3233.jpg

Ketika ditanya oleh orang nanti ingin sekolah di mana, Tama kecil yang saat itu baru lepas dari status batita dan masih memanggil dirinya Dek Adel instead of Mas, selalu menjawab dengan lantang akan sekolah di luar negeri. Di Sorbonne tepatnya. Padahal, Fadel kecil ndak tau mau sekolah apa di Sorbonne, bahkan dia juga ndak tau Sorbonne itu di mana. Pokoknya besok mau sekolah di luar negeri, di Sorbonne. Titik.

Seiring berjalannya waktu, Tama kecil mulai menunjukkan ketertarikan berlebih pada dunia sejarah, utamanya Sejarah Kuno. Dari Mesopotamia, Mesir Kuno, Harappa, sampek Minoa jadi teman sehari-hari. Ditambah lagi, teman sebangkunya selama sekolah juga penggila sejarah. Maka hari-hari mereka selama sekolah dihabiskan dengan berdiskusi dan berkhayal tentang sejarah. Sampai pada akhirnya kami berkhayal bagaimana rasanya menemukan sisa-sisa dari peradaban tua dan menguak misteri darinya. Di situlah Algi dan aku bercita-cita untuk jadi arkeolog.

DSCF1371.jpg

Mulai saat itu, aku merancang jalur bagaimana bisa jadi arkeolog dan juga sekolah di Sorbonne. Entah kenapa, jalur yang kuambil ini cukup aneh dan agak ndak wajar. Pertama,aku mau sekolah di Tarim, Hadramaut dulu. Rasanya ada panggilan yang mengharuskan aku untuk pergi ke sana. Lalu, diteruskan sekolah di Al-Azhar, Mesir, dan diakhiri dengan Sorbonne, Paris. Entah gimana nanti sampeknya, pokoknya jalurnya harus kayak gitu dan nanti ada kuliahnya arkeologi. Sampek SMA, urutan sekolah ini masih dipegang teguh.

Dan waktu SMA ini aku nyadar, kalo apa yang tak cita-citakan itu lumayan ndak masuk akal dan ndak ada jalurnya untuk ke sana. Yasudah, aku terima aja. Toh, jalur untuk ke Sorbonne langsung masih masuk akal. Memang masuk akal, tapi jalurnya yang tidak ada. Setelah mencari sekian lama, sama sekali ndak nemu jalur dan kesempatan untuk ke Sorbonne. Di situ aku merasa bener-bener ndak punya tujuan sama sekali. Buat kuliah di Indonesia juga ndak punya bayangan sama sekali, lha wong seumur hidup emang bayangan dan keinginannya selalu di Sorbonne, mana sempet mikir UI atau UGM atau ITB. Jadi males sekolah, males ngapa-ngapain, luntang-lantung, hampir kena DO, lalu diingetin sama Ibuk, masih ada Belanda dan Jerman. Masih ada harapan.

Masih ada Belanda dan Jerman, masih ada keinginan minor yang baru muncul beberapa tahun terakhir, aerospace engineering. Karena lebih fasih ber-Jerman ria daripada ber-Belanda ria, tentu saja pilihannya jatuh ke Jerman. Tahun-tahun terakhir di SMA sampai Studienkolleg pokoknya konsen mau RWTH Aachen, Mechanical Engineering trus ke Aeronautical Engineering-nya. Oh, sebelum itu sempet kepikiran mau ke M-Kurs aja karena sedikit "dipengaruhi" Ibuk buat ke Kedokteran aja (Ibuk pengen punya anak yang dokter atau seenggaknya mantu dokter) dan tertarik sama Psikologi juga. Seingetku waktu itu juga didaftarin ke M-Kurs dan dapet deh, tapi udah terlanjur lulus T-Kurs jadi yaa udah.

Singkat cerita udah lulus Studienkolleg dan dapet Zulassung RWTH, udah dapet rumah di deket RWTH juga, di Süsterfeldstrasse seberangnya Newton Appartement sama Aachen West kalo ndak salah. Kurang deket apa lagi tuh. Tapi sayangnya, karena satu hal dan yang lain, harus banting setir. Lagi. Sisa sakit hati waktu banting setir pertama aja belom sembuh lho, sekarang malah banting setir lagi. Yang tadinya cuman daftar RWTH, beberapa hari sebelum deadline pendaftaran, aku kirim berkas ke TU Clausthal. Ya, begitulah ceritanya aku bisa nyasar ke sini.

DSCF3893.jpg

Nyesel ndak? Ndak sama sekali. Toh, pada akhirnya, ini juga ndak jauh beda sama arkeologi. Sama-sama nyari sesuatu yang sudah terpendam lama. Reservoir engineering ndak ada bedanya sama menguak misteri dan cerita peradaban yang lama terpendam, sama-sama banyak asumsi dan ambil data dari sekitarnya. Apalagi, Goslar, atau Harz pad aumumnya juga kota bersejarah. Jadi masih oke lah yaa.

Tapi sakit hati yang pertama emang paling membekas. Sampek hari ini, walaupun udah menjelajah kesana-kemari, dari barat sampek timur, aku belom menginjakkan kaki sekalipun ke Paris. Sama sekali. Mbuh kenapa, kadang takut, kadang males, kadang ndak minat. Masih belom bisa berdamai aja kayaknya. Sebenernya ada beberapa kali kesempatan buat ke sana, tapi tak biarin lewat begitu aja. Akhir tahun kemaren sih, sempet mengutarakan kalo akan mengusahakan ke Paris. Tapi dengan syarat, harus dengan orang yang tepat. Tinggal nunggu aja orang yang tepat itu siapa.

Ayok, ke Paris sama aku. Nanti kita ke Disneyland lalu berkeliling ke museum-museum di sana. Nanti aku yang jadi personal tour guide dan pendongengmu.

DSCF1368.jpg