Aku Bukanlah Aku

Aku Bukanlah Aku

Kalian kalo lagi ndak ada kerjaan, alias pengangguran, biasanya ngapain? Kalo aku, sih, biasanya cuman main game, baca-baca, gegoleran (paling sering), dan nonton. Padahal, aku pengennya tuh ngerjain sesuatu gitu, soale banyak banget proyek yang mangkrak. Raspberry Pi udah sampek numpuk dan berdebu di pojok kamar, film banyak yang belom di-scan, tulisan banyak yang berhenti di draft kesekian, ratusan foto yang belom diedit, dan banyak, buanyak, hal yang terbengkelai begitu saja. Lha gimana, lebih asik doing nothing. Cause there’s nothing, like doing nothing, with you~~. Halah, si-„you”-nya ini juga belom ada, sok-sokan.

Kalo akhir-akhir ini, aku lagi sering banget nonton. Maraton anime karena udah ketinggalan 3 season, nyari-nyari serial bagus di Netflix dan layanan streaming lainnya, trus nonton konser di YouTube juga. Dari semuanya, yang paling bikin terngiang-ngiang, yang bagus dan paling relatable, drakor yang judulnya Tomorrow. Yaa gimana, SPYxFAMILY bagus, sih, cuman kan ndak relate sama sekali yaa. Aku bukan spy, belom punya istri, apalagi punya anak.

Jadi, drakor Tomorrow ini bercerita tentang orang-orang yang diangkat jadi grim reaper, tapi, instead of mencabut nyawa orang, mereka ini berusaha menyelamatkan orang-orang yang mau bunuh diri. Tim ini bekerja di bawah Jade Emperor, pimpinan afterlife-nya sana, dan dibekali gadget dan peralatan-peralatan yang, menurutku, oke dan lucu. Tiap episodenya cerita gimana dan kenapa si orang bersangkutan ini pengen bunuh diri, cara tim grim reapers menyelamatkannya, dan ndak lupa ketololan dalam tiap usahanya.

Tapi jangan lupa, drakor ini temanya bunuh diri, tentu aja banyak banget trigger-nya. Aku sendiri ndak sanggup buat langsung nonton banyak-banyak gara-gara trigger yang bersebaran ini. Mentok sekali nonton seperempat episode doang, trus lanjut besok lagi. Kalo inget trigger-nya, inget It’s Okay To Not Be Okay, yang katanya juga banyak trigger-nya. Aku, sih, belom pernah nonton yang itu yaa, jadi ndak tau. Mungkin kalo kamu nonton, ndak bakalan ke-trigger juga, sih, karena sebenernya semuanya, tuh, cukup mild. Balik ke masing-masing lagi jadinya, mungkin aku ndak sanggup nonton gara-gara pernah „mengalami” hal-hal kayak gitu.

Mengalami? Iyaa, mengalami. Bukan, bukan sebagai orang yang mau bunuh diri, tapi jadi orang yang liat bagaimana mereka perlahan berubah. Berubah jadi orang yang bukan diri mereka lagi.

Jadi gini.

Once upon a time, I had a friend.

Teman yang udah bukan kayak teman lagi. Dari kecil bareng terus, sekelas bertahun-tahun, sering liburan bareng. Kebetulan keluarga kami juga deket banget dari dulu, jadi yaa udah. Beneran kayak saudara, bahkan there were times where people thought we were in a relationship. Sayangnya, kami harus pisah saat pertengahan SMA karena dia pindah ke luar, dan aku juga pada akhirnya pindah ke luar. Dari situ, kami lost contact, ndak pernah berkirim pesan, ndak pernah berkabar satu sama lain lagi. Lho, kok bisa? Bisa. Karena rumah kami deketan (technically sebelahan), we never bother to exchange our contact. Mau main, mau apa-apa, tinggal teriak doang. Udah gitu sekelas mulu, tiap hari ketemu. Bodohnya lagi, ketika pamitan, bukannya tukeran kontak, malah tukeran alamat. Soalnya mau surat-suratan aja, biar keren gitu. Pada akhirnya, belom sampek surat kelima udah bosen, capek. Sosial media juga ndak bisa diandalkan, lha dia ndak punya dan ndak minat bikin. Hilanglah satu teman.

Bertahun-tahun kemudian, di suatu hari yang abu-abu, kami ndak sengaja ketemu di salah satu kafe di Jogja. Pertemuan ini lalu berlanjut dengan obrolan-obrolan kecil, update kehidupan masing-masing, berkabar soal teman-teman lama kami, dan ndak lupa sedikit mengenang apa yang terjadi di masa lampau. Dari situ, kami tukeran kontak dan jadi sering janjian buat main ke luar, nonton, makan, atau sekedar ngobrol di rumah.

Perlahan, ndak tau awalnya dari mana, dia cerita tentang keadaan saat itu, terutama soal kondisi mentalnya. Karena satu hal dan lainnya, kondisi mentalnya sedang terjun bebas dan mengharuskan dia bolak-balik ke terapis. Alasan yang sama jugalah yang bikin dia harus pulang dan menetap di Indonesia untuk sementara waktu. Aku yang masih ndak tau banyak, bahkan ndak tau apa-apa, soal kesehatan mental dan bagaimana menghadapinya, bingung dan panik. Bingung karena ndak tau harus apa, paniknya juga karena ndak tau harus apa.

„Aku bisa apa?”

Be here. Jangan pergi lagi.”

Aku makin ndak bisa merespon apa-apa. Dari hari itu, aku janji ke diri sendiri, mau ada apapun, lagi apapun, kalo dia chat, langsung tak balas. Kalo dia telfon, bakal langsung tak angkat.

Mulai saat itu, aku berusaha cari info soal kondisinya, gimana caranya mendampingi dia, gimana bisa support dia dalam kesehariannya. Ada masa di mana rasanya kami bergerak ke arah yang tepat, ke arah yang positif. Dia keliatan bahagia, mau makan, tidurnya teratur. Tapi ada juga masa di mana semuanya jadi berat banget, kok makin ke sini makin memburuk. Ndak jarang aku nemu benda tajam di kasurnya atau di kamar mandinya, trus sering juga dia berandai, gimana rasanya kalo menabrakkan diri, jatuh dari ketinggian, atau lainnya. Pada akhirnya, aku bisanya cuman berusaha ada buat dia, both physically and emotionally.

Di antara semua hal, mungkin yang terberat adalah ketika liat dia perlahan kehilangan dirinya. Slowly losing confidence, losing brainpower, losing her smile, losing her ability to feel. Mind you, she was one of the best human being, with the brightest of mind and the biggest of heart, I’ve ever met. Like, I’m a big fan of her, I want to be like her. She was, and still is, my benchmark of how a person should be and should act. It was heart-wrenching when she said she doesn’t recognize herself anymore, that she doesn’t deserve anything in this world, that she’s a broken person beyond help. Aku bukanlah aku, tulisnya.

Dan pada suatu hari, dia pergi.

Di hari yang sama, salah seorang temannya ngasih secarik kertas berisi berbagai macam kegiatan dengan banyak tanda centang di sampingnya. Jalan-jalan ke „pantai rahasia” di Gunung Kidul, main ke cat cafe, makan es krim di salah satu toko gelato di Jogja, night ride keliling Jogja (cuman bentar gara-gara masuk angin dua-duanya), jajan di Alkid, maraton nonton Ghibli, begadang main board game, cover lagu berdua. Kegiatan-kegiatan yang kami lakukan beberapa hari belakangan. Dan pada saat itu aku baru sadar, kegiatan-kegiatan itu adalah janji kami saat pisah dulu, kegiatan-kegiatan yang bakal dilakukan bareng ketika kami kembali ke Jogja.

And everything clicked. Menepati semua janji adalah caranya untuk „berpamitan”.

Tak inget inget, di hari terakhir aku ketemu dia, kami cover lagu berdua, I See The Light-nya Tangled sama Somewhere Out There-nya An American Tail. It was fun, sok-sokan nyanyi padahal kami ndak ada yang bisa nyanyi. Nada ke mana-mana ndak masalah, toh ndak ada yang denger juga. Palingan kucingnya dia yang sebel, ini ngapain dua manusia teriak-teriak ndak jelas.

Buat lagu terakhir, dia minta aku cover Clouds-nya Before You Exit, nyanyi sendiri katanya. Aku yakin, sih, setan aja pada istighfar denger aku nyanyi. Sesi cover hari itu diakhiri dengan dia bilang makasih. Makasih udah mau direpotin sama dia selama ini, makasih udah selalu ada buat dia, makasih udah bikin dia ndak merasa worthless. Ketemu aku jadi highlight hidupnya tahun ini, katanya. Waktu aku mau pulang, dia cuman bilang, „there will be no goodbye from me tonight, but see you when I see you”.

Yaa, aku baru mudeng sekarang. Baru paham sekarang. Bebal banget.

Hi Vee, it’s been two years since you left. Time flies, huh.

I never told anyone about you, never wrote anything about you either. I wanted to, but I couldn’t. Not until today. Even though it’s an absolute mess, I feel relieved to be able to tell this story.

Vee, there are a lot of things I wish I could tell you. I didn’t have a chance to, so let me write it here. Thank you, thank you so much for letting me stay by your side. Thank you for opening up to me, showing me another side of you. Thank you for giving me a chance to know you a bit more. Thank you for being you.

Aku ndak tau apa yang kamu rasakan saat itu, apa yang kamu jalani saat itu, tapi aku tau kamu udah berjuang dengan keras, kamu udah berusaha melakukan yang terbaik, dan aku bangga sama kamu, apapun akhirnya.

Vee, knowing what happened, you might think that I hated you, that I despised you. It’s understandable and I’m sorry, it was necessary. But just so you know, I would never hate you, whatever happens. Even to this day, I’m still your biggest fan.

Vee, I know that somewhere out there you’re happy, and not suffering anymore. Imagining you’re smiling makes me happy, and makes me miss you even more. I miss your smile, I miss the way you tie your hair, I miss your laugh, I miss the way your eyebrows meet when you’re in the zone, I miss the way you held your spoon which annoys me, and a lot of other things, mostly annoy me, but I miss those things now that you’re gone.

I wish I could say I love you, but that would be a lie because it’s not love. It’s something bigger, something purer, something that surpasses love itself. Still, love you is the bare minimum.

So, I love you.

21.12.1997-12.09.2020